January 13, 2013

Pencitraan: Dibenci tapi Dirindu

Dalam kosa kata politik Indonesia selama beberapa tahun terakhir dikenal istilah “pencitraan politik” yang acapkali menjadi sumber perdebatan negatif di masyarakat. Bagi banyak orang di Indonesia istilah tersebut digunakan secara negatif untuk menggambarkan seseorang/kelompok yang membangun citra (image) secara semu, atau tanpa adanya bukti nyata. Padahal mengingat pencitraan politik masuk ke dalam ranah pemasaran politik (political marketing) maka sebenarnya “produk” yang dijual ke pemilih ada empat. Pertama, ideologi dari partai politik. Kedua, program-program yang diajukan partai politik. Ketiga, rekam jejak (track record) partai politik. Keempat, karakteristik dari tokoh-tokoh yang ada di partai politik tersebut. Jadi secara teori, pencitraan politik seharusnya berakar pada kenyataan.

Namun jauh panggang dari api, pelaksanaan pencitraan politik telah berubah menjadi “politik pencitraan” yang lebih condong kepada propaganda. Dalam arti teknik tersebut digunakan untuk membangun citra guna memeroleh dukungan masyarakat, padahal acapkali tidak terasa kenyataannya. Sebagai buah dari metode kampanye politik modern, pencitraan politik mulai diterapkan di Indonesia pada masa pemilihan umum (pemilu) 2004 yang mengangkat Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden terpilih langsung pertama. Sistem pemilu presiden yang berubah menjadi pemilihan suara terbanyak juga menjadi pupuk yang menyuburkan praktik pencitraan politik di Indonesia. Ironisnya, praktik pencitraan politik yang turut berperan menghantarkan Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden di tahun 2004, malah menuai kritik demi kritik selama 9 tahun pemerintahannya.