Setelah berbagai keraguan dan protes dari beberapa kalangan/kelompok, terlaksana juga pemilihan umum (pemilu) legislatif 2009. Saat ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) sedang mengumpulkan hasil penghitungan suara dari berbagai Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan berbagai analisa serta perkiraan terus bermunculan di media tentang siapa yang akan menjadi pemenang pemilu legislatif tahun ini. Selain yang merayakan, ada juga yang mengkritik. Mulai dari laporan manipulasi survei penghitungan cepat, Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang tidak lengkap, ketidak siapan KPU dalam penyebaran logistik, sampai persentasi Golongan Putih (golput) atau mereka yang tidak dapat/tidak mau memilih yang mencapai 30-40%. Namun tampak persamaan pandangan bahwa pemilu 2009 adalah pemilu yang penting untuk Indonesia di masa depan.
Ada beberapa pendapat perihal mengapa pemilu 2009 penting untuk Indonesia di masa depan. Beberapa bulan yang lalu, seorang ahli politik berpendapat bahwa pemilu ini akan menjadi kesempatan terakhir untuk golongan lama seperti Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Megawati (Mega), Wiranto, dll untuk duduk di kursi pemerintahan. Ada juga yang berpendapat bahwa dengan keputusan MK tentang pemilihan anggota legislatif berdasarkan suara terbanyak di pemilu ini maka mereka yang nantinya terpilih akan semakin dekat dengan rakyat, tidak seperti apa yang telah terjadi selama ini. Dari perspektif ekonomi, pemilu 2009 diharapkan dapat melanjutkan kestabilan negara untuk menopang perkembangan ekonomi Indonesia di tengah krisis ekonomi global. Banyak harapan yang diletakkan pada pemilu 2009 tapi orang sebaiknya jangan lupa bahwa pemilu hanyalah langkah awal dalam sistem demokrasi.
Berlandaskan pada konsep kekuasaan di tangan rakyat, pemilu merupakan instrumen pengumpulan suara rakyat untuk menentukan individu yang akan mengemban tugas melaksanakan amanat rakyat. Dalam bahasa pemasaran politik (political marketing), pemilu adalah saat rakyat memberikan suara mereka kepada seorang kandidat atau partai dan sebagai gantinya mereka mengharapkan kandidat atau partai itu memenuhi janji yang telah diberikan saat berkampanye. Dengan kata lain, melalui pemilu, rakyat memercayai individu atau partai untuk memberikan apa yang terbaik bagi rakyat.
Inilah yang jangan dilupakan oleh rakyat, bahwa tujuan akhir pemilu bukanlah terpilihnya atau menangnya seorang individu atau partai. Namun pemilu harus berujung pada apa yang terbaik bagi rakyat atau lebih tepatnya kesejahteraan rakyat. Bila kita hanya fokus pada pemenang pemilu, legitimasi yang diberikan pemilu kepada pemenangnya, atau pembahasan koalisi partai-partai yang kalah pemilu maka kita akan terjebak pada pembahasan demokrasi sebatas prosedural dan bukannya substansial.
Maksud dari demokrasi prosedural adalah pelaksanaan atau terpenuhinya “tampilan luar” demokrasi seperti pemilu, hak memilih, hak dipilih, hak menyuarakan pendapat, kesetaraan di depan hukum, dll. Sedangkan demokrasi substansial adalah terpenuhinya kesejahteraan rakyat melalui rule of law, berlangsungnya proses checks & balances, terlibatnya rakyat dalam proses pembuatan kebijakan, serta adanya kebijakan dan hukum yang pro-rakyat. Selama ini banyak perdebatan yang menempatkan demokrasi prosedural sebagai lawan demokrasi substansial. Padahal keduanya saling melengkapi. Demokrasi prosedural tetap diperlukan sebagai landasan pemenuhan hak dan kewajiban rakyat. Sedangkan demokrasi substansial diperlukan untuk mengawal pelaksanaan demokrasi serta memastikan terwujudnya kesejahteraan rakyat.
Kesejahteraan rakyat di Indonesia dari masa ke masa tampaknya belum benar-benar terpenuhi. Di masa Soekarno ada antrian masyarakat untuk mendapatkan bahan-bahan pokok. Di masa Soeharto walaupun dikatakan ekonomi kita berkembang pesat tapi ternyata dibangun atas hutang luar negeri yang akhirnya membuat Indonesia terjebak dalam krisis ekonomi. Di masa reformasi kita masih harus menawarkan aset-aset negara kita untuk membayar hutang negara agar rakyat tidak terkena imbasnya. Di masa sekarang pun tingkat kemiskinan pun naik dari sekitar 35 juta orang pada tahun 2006 menjadi sekitar 40 juta orang di tahun 2008. Belum lagi harga bahan pokok yang terus meningkat. Ini semua tetap terjadi setelah sembilan kali pemilu (mulai dari pemilu 1955sampai pemilu 2004) dalam sejarah Indonesia.
Pemilu 2004 memang bisa dikatakan sebuah kemajuan besar karena untuk pertama kalinya rakyat dapat memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung. Bahkan setelah itu pemerintah Indonesia sering menyatakan dengan bangga bahwa negara kita adalah negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, setelah India dan Amerika Serikat (AS). Pernyataan ini juga muncul dari dunia internasional walaupun lebih mengacu kepada jumlah penduduk Indonesia dan bukan kualitas demokrasi kita. Kemajuan besar juga terjadi pada pemilu 2009 dengan adanya keputusan MK yang menyebutkan anggota legislatif akan terpilih berdasarkan suara terbanyak dan bukan berdasar nomor urut yang ditentukan oleh partai.
Tentu bila kita hanya menggunakan kriteria demokrasi prosedural maka dari contoh di atas, Indonesia memang sudah pantas disebut sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia. Akan tetapi berbahaya bila kita merasa puas dengan itu. Seperti yang sudah disebutkan di atas, demokrasi tidak berhenti pada pemungutan suara tapi harus berujung pada kesejahteraan rakyat. Dari satu pemilu ke pemilu yang lainnya kita harus terus berjuang agar rakyat dapat merasakan manfaat demokrasi.
Apabila ini tidak dapat kita lakukan maka lama-kelamaan rakyat akan kehilangan kepercayaannya pada demokrasi. Memang sudah sifat alami manusia untuk mementingkan urusan perut terlebih dahulu. Jadi bila rakyat tidak merasakan manfaat demokrasi maka mereka akan bersikap apatis atau berpaling. Bukan tidak mungkin rakyat akan menuntut adanya sistem kediktatoran bila itu yang mereka rasa akan menurunkan harga beras.
Tentu saja kesejahteraan rakyat tidak sesederhana terjangkaunya harga beras tapi ini adalah salah satu hal dasar yang penting. Sebagai penganut demokrasi, kepercayaannya adalah kesejahteraan rakyat dapat dicapai bila kebijakan dan hukum yang dibuat dan diberlakukan didasarkan pada semangat pro-rakyat. Ini berarti pembangunan sistem (system building) yang harus dilakukan oleh badan legislatif dan eksekutif nantinya harus dapat menjawab permasalahan nyata yang dialami oleh rakyat.
Kuantifikasi suara rakyat memang diperlukan sebagai legitimasi tapi perjuangan tidak boleh berhenti. Selama lima tahun ke depan, badan eksekutif, badan legislatif dan rakyat harus bersama-sama memastikan demokrasi substantif tercapai. Lima tahun dari sekarang, kita harus bisa dengan bangga dan yakin mengatakan kalau ada bukti-bukti nyata bahwa rakyat Indonesia sejahtera karena adanya demokrasi.
punten kang
ReplyDeletemamu bertanya nih mengenai demokrasi substansial
salah satu langkah menuju Demokrasi Indonesia yang substansial adalah pesta demokrasi ,, selain itu ada apalagi yah kangmohon pandanganya...