Semasa kuliah mempelajari sejarah Amerika Serikat (AS), seringkali disebutkan oleh bahwa AS adalah bangsa yang paradoks. Seakan selalu memiliki pemikiran ganda karena filosofi hidup pragmatis mereka. Hal ini muncul di pikiran penulis saat tanggal 1 Mei kemarin melihat demonstrasi buruh di Jakarta. Saat para kaum pekerja meneriakkan dambaan hati mereka untuk hidup yang lebih baik, mereka melewati sebuah toko merk tas dunia yang harganya bisa mencapai puluhan juta. Sungguh pemandangan yang kontras melihat ikon merk tersebut, lambang aksesoris kalangan berada, terpajang dengan megah sedangkan para demonstran yang melewatinya berkeringatan memerjuangkan kesejahteraan mereka. Sebuah keadaan kontras juga bila kita mengingat saat banyak kalangan miskin mengantri untuk mendapat Bantuan Langsung Tunai (BLT) tapi banyak juga yang mengantri untuk membeli sepatu merk internasional serta berlian di salah satu toko perhiasan.
Keadaan-keadaan tersebut memperlihatkan bahwa Indonesia adalah sebuah masyarakat paradoks sosial. Dari orang yang mampu membeli mobil Rp 1 Milyar sampai orang yang tidur di terminal dapat ditemukan di Indonesia. Kegiatan konsumsi dikabarkan meningkat tapi buruh terus dibayangi ketakutan atas Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) masal. Jumlah pasien yang menghuni ruangan VIP Rumah Sakit (RS) meningkat tapi banyak juga orang yang tidak mampu membeli obat flu paling murah. Jumlah wisatawan dalam negeri meningkat tapi masih ada yang kesulitan membiayai transportasi sehari-hari mereka. Pelajar Indonesia juga mencetak prestasi dengan memenangkan lomba-lomba pendidikan di luar negeri tapi di dalam negeri belum terlihat dampak positif dari kebijakan bebas biaya sekolah.
Sebuah dilema memang karena di satu sisi kegiatan konsumtif adalah penggerak roda ekonomi. Ini salah satu faktor mengapa Indonesia menjadi salah satu negara yang tetap kuat menghadapi krisis ekonomi global. Lihat saja negara-negara lain seperti AS, Jepang, dan Inggris yang terus menyuntikkan dana kepada bank dan industri dalam negeri mereka. Keadaan di Indonesia nampak lebih baik bahkan tidak seperti negara tetangga Singapura yang mengalami resesi ekonomi. Namun bila diingat beberapa tahun lalu sudah pernah muncul wacana bahwa kegiatan konsumtif yang tinggi akan membahayakan bila tidak dibarengi dengan sikap produksi dalam negeri yang tinggi pula. Untungnya Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) kita justru berkembang dan menjadi jangkar ekonomi negara saat ini.
Begitu juga perihal investasi asing yang masuk ke Indonesia. Kita memiliki pengalaman buruk dengan dijualnya beberapa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kepada pihak asing untuk mengimbangi utang luar negeri Indonesia. Tapi di sisi lain keadaan finansial Indonesia tidak cukup untuk mengimbangi pertumbuhan kebutuhan masyarakat dan teknologi. Pemerintah berusaha untuk membuat Indonesia menjadi sasaran investasi yang menarik bagi perusahaan asing. Harapannya adalah untuk meningkatan pemasukan negara tapi ada resiko negara kita kehilangan kedaulatan.
Banyak yang menyederhanakan akar permasalahan sosial di Indonesia pada kebijakan pemerintah yang neo-liberal atau Washington Consensus. Dalam bahasa jalanan sering juga disebut kebijakan yang tidak pro rakyat. Menurut Francis Fukuyama (2004) permasalahan sosial acapkali dikarenakan lemahnya institusi negara. Bagi Fukuyama, harus ada keseimbangan antara cakupan kekuasaan pemerintah (scope of state) dengan kekuatan dan efektifitas pemerintah (strength of state). Karena dia menganut pemikiran aliran Barat maka tidak heran bila hipotesanya adalah cakupan kekuasaan pemerintah harus berkurang (liberalisasi) namun kekuatan dan efektifitasnya harus ditingkatkan. Bila ini tercapai, menurut Fukuyama, masalah sosial sebuah negara akan dapat diatasi.
Teori yang ditawarkan Fukuyama terlihat seperti alternatif yang nyaman dan menjanjikan. Namun kebutuhan atas teori ini bergantung pada kondisi setiap negara. Kuba memilih scope of state yang luas tapi dengan kompensasi kualitas kesehatan yang tinggi. Kanada dan Inggris termasuk negara yang liberal tapi menerapkan pajak yang tinggi untuk pembangunan infrastruktur dan pelayanan publik. Cina mungkin negara dengan scope of state dan strength of state yang paling ekstrim tapi sistem perdagangannya telah mengadopsi kapitalisme.
Di Indonesia, liberalisasi masih memiliki stigma negatif sehingga scope of state masih luas. Dalam hal strength of state bisa dikatakan bahwa institusi negara kita masih kurang maksimal. Dengan angka kemiskinan sekitar 35 juta orang, pengangguran terbuka sekitar 9,5 juta orang dan sektor pelayanan publik (kesehatan, transportasi, pendidikan, dll) yang keadaannya menghawatirkan maka tampak bahwa kualitas institusi negara kita harus ditingkatkan.
Peningkatan kualitas institusi negara dapat dilakukan melalui dua cara. Pertama, melalui legislasi, yaitu pembuatan aturan/payung hukum yang melandasi kekuasaan sebuah institusi negara. Kedua, peningkatan kualitas sumber daya internal institusi negara. Ini dapat dilakukan dengan pembinaan kapasitas serta kesejahteraan Sumber Daya Manusia (SDM) dan memerbaharui fasilitas penopang efektifitas pekerjaan.
Perihal legislasi, aturan yang dibuat harus dapat memberikan kejelasan ruang lingkup tiap institusi. Mana yang menjadi kekuasaan dan mana yang menjadi batasan dari sebuah institusi. Ini diperlukan agar tidak ada tumpang tindih kekuasaan dan kebingungan antar institusi negara. Sudah terlalu banyak masalah yang terjadi di Indonesia berkaitan dengan ketidak jelasan legislasi. Seperti tumpang tindih lahan hutan produksi dengan kegiatan pertambangan atau perebutan penanganan kasus korupsi antar beberapa institusi.
Perihal peningkatan kualitas sumber daya internal juga penting karena kualitas sebuah legislasi dan penerapannya bergantung kepada kemampuan SDM dan efektifitas kinerja mereka. Ada empat cara untuk meningkatkan kemampuan dan efektifitas SDM institusi negara. Pertama, melalui proses seleksi pegawai yang ketat. Praktek gratifikasi dan nepotisme dalam penerimaan pegawai institusi sudah harus ditinggalkan. Niscaya yang masuk ke dalam institusi negara adalah orang-orang dengan minat dan keahlian yang diperlukan.
Kedua, melalui pelatihan atau peningkatan kemampuan SDM yang sudah ada. Selain penerimaan orang yang tepat melalui seleksi, SDM yang sudah ada juga dapat dimaksimalkan dengan pembekalan atau edukasi dan pelatihan keahlian. Meningkatnya kualitas SDM sebuah institusi diharapkan bergerak sebanding dengan meningkatnya kinerja institusi tersebut.
Ketiga, melalui pemberian insentif bagi para pegawai institusi negara dalam bentuk peningkatan kesejahteraan. Di masa ekonomi sekarang ini, sudah sewajarnya para pegawai diberikan ketenangan pikiran dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup pokok. Bukan hanya dengan harapan agar pekerjaan mereka bisa lebih fokus tapi juga untuk menghindari praktek korupsi terjadi di institusi negara. Tentu saja ini harus dibekali dengan pembekalan moral perilaku anti korupsi bagi mereka.
Keempat, melalui penyediaan fasilitas yang sepadan dengan tuntutan pekerjaan agar tercapai hasil yang efektif. Memang penyediaan fasilitas adalah topik yang kontroversial karena banyak penyalahgunaan yang telah terjadi. Akan tetapi bukan berarti penyediaan fasilitas perlu ditiadakan sepenuhnya. Hal yang tepat adalah penyediaan fasilitas melalui anggaran yang telah disesuaikan dengan kemampuan dan keperluan sebuah institusi. Tentu saja penggunaan komputer akan membuat pekerjaan menjadi lebih efektif dibandingkan mesin ketik.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, penguatan institusi negara tidak mudah dilakukan. Namun bukannya tidak mungkin dilakukan. Sebelumnya harus dipahami secara menyeluruh permasalahan utama sebuah negara dan anggaran yang tersedia. Ketersediaan anggaran tentu sebuah halangan yang akan selalu ada maka penyelesaian masalah harus yang dapat menimbulkan multiplier effect. Obama melakukan ini ketika dia mengumumkan program untuk mengatasi permasalahan teknologi komunikasi dan pendidikan. Menurutnya untuk ke depan AS akan bersandar kepada infrastruktur dan SDM maka dibangunnya infrastruktur komunikasi dan sekolah di berbagai tempat. Melalui pembangunan itu tercipta berbagai pekerjaan dan pembelian bahan baku maka terciptalah multiplier effect.
Di Indonesia, permasalahan utama belum teridentifikasi dan anggaran yang tersedia seringkali tertutup tabir. Sebelum kedua hal ini diketahui secara jelas maka penguatan institusi negara untuk mengatasi masalah sosial akan bertambah sulit untuk dilaksanakan.
No comments:
Post a Comment