Selama 69 tahun kemerdekaan
Indonesia, satu wacana seakan tak pernah sirna dalam kehidupan bangsa kita
yaitu tentang SARA (suku, agama, ras, antar golongan). Sejak masa sidang BPUPK
(Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan), perdebatan Indonesia merdeka
itu negara siapa telah ada. Apakah untuk kelompok ras tertentu? Apakah untuk
kelompok agama tertentu? Apakah untuk kelompok suku tertentu? Kita berpikir
dengan ditetapkan Pancasila dan UUD 1945 perdebatan itu telah selesai. Bahwa
Indonesia yang merdeka adalah negara untuk semua. Sayangnya di masa modern
sekarang, perdebatan itu tampak belum benar-benar tuntas.
Terutama di masa kampanye Pemilihan
Presiden-Wakil Presiden (Pilpres) 2014. Begitu derasnya tsunami isu SARA
merajalela baik di kehidupan nyata maupun kehidupan maya. Tidak hanya di
kalangan yang katanya berpendidikan tingkat bawah, namun juga di kalangan yang
sudah lulus tingkat atas. Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika diterpa dan diuji
ketahanannya di Pilpres 2014. Sejarah seakan mengulang diri ketika di masa Orde
Baru isu SARA menjadi komoditas politik. Komoditas yang puncaknya meletus dalam
kerusuhan Jakarta tahun 1998. Kala banyak orang langsung menaruh tanda di
gerbang rumahnya bahwa mereka menganut agama dan suku tertentu. Semua dilakukan
untuk menyelamatkan diri dari serangan fisik massa tertentu.
Ternyata SARA masih menjadi
komoditas politik yang dimanfaatkan dalam kondisi yang katanya jumlah kelas
menengah Indonesia mencapai 130 juta orang (sekitar 54 persen dari total
penduduk Indonesia), ekonomi terbesar Asia Tenggara yang akan segera menyambut
Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015, negara dengan jumlah pengguna jejaring sosial
yang besar dalam skala global.
Sedih melihat masih ada yang
memainkan isu SARA untuk kepentingan politik semata. Sama sedihnya masih ada
yang percaya atas permainan isu SARA di Indonesia. Apa masih kurang banyak
darah yang tumpah di negeri ini karena permainan isu SARA? Apa masih kurang
banyak ketakutan dan kebencian di kehidupan sehari-hari bangsa ini karena
penghembusan isu SARA?
Rindu rasa menjalani kehidupan di
Indonesia tanpa dihantui provokasi dan agitasi SARA.
No comments:
Post a Comment