“Salah satu simbol feminisme
telah dilucuti kekuatannya”, itulah kalimat yang diutarakan Gloria Steinem,
editor majalah Ms. dan aktifis feminisme ternama di Amerika Serikat, tentang
Wonder Woman di tahun 1968. Steinem mengatakan ini ketika DC Comics waktu itu memutuskan
untuk mengubah cerita Wonder Woman, dari seorang superhero keturunan Amazonian menjadi
wanita biasa yang menguasai ilmu bela diri. Pernyataan ini didokumentasikan
dengan baik oleh Les Daniels, salah satu pemerhati Sejarah buku komik Amerika
Serikat, di dalam bukunya “Wonder Woman: The Complete History” edisi terbitan
tahun 2000.
Memang Steinem beberapa kali
mengakui bahwa dia sering membaca komik Wonder Woman di masa kecilnya. Bahkan
di bulan Juli tahun 1972, Wonder Woman, seorang tokoh fiksi di buku komik,
dijadikan gambal sampul depan majalah Ms. Oleh Steinem sang editor. Padahal Ms.
adalah majalah bertemakan perjuangan feminisme di dunia nyata (https://en.wikipedia.org/wiki/Gloria_Steinem ), tapi sang editor sangat nyaman menjadikan seornag tokoh
fiksi sebagai salah ikon kebanggaannya. Bahkan Steinem menganalisa cerita
Wonder Woman sebagai salah satu narasi yang mewakili perjuangan kaum perempuan
dalam dunia yang begitu paternalistik ( https://en.wikipedia.org/wiki/Cultural_impact_of_Wonder_Woman ).
Entah berapa banyak orang hari
ini yang sudah tahu bahwa pencipta karakter Wonder Woman adalah seorang
laki-laki. Dan bukan sekedar laki-laki biasa, melainkan tokoh yang sama yang
menciptakan alat pendeteksi kebohongan, yaitu Dr. William Moulton Marston.
Bahkan salah satu senjata utama Wonder Woman adalah truth lasso (laso
kejujuran), yang disebut para pengamat sengaja dibuat fungsinya mirip dengan
alat pendeteksi kebohongan buatan Marston.
Dalam sebuah wawancara di
tahun 1940, Dr. Marston mengatakan bahwa dia melihat buku komik memiliki potensi
besar sebagai alat pendidikan. Ini yang kemudian berlanjut menjadi pembicaraan
antara Dr. Marston dengan National Periodical Publications (cikal bakal DC
Comics) untuk menerbitkan cerita superhero yang mengalahkan kejahatan bukan dengan
kekuatan fisik semata, tapi lebih utama dengan kasih sayang. Dari ide itulah di
tahun 1941 lahirlah Wonder Woman, tokoh superhero perempuan pertama dalam
sejarah buku komik Amerika Serikat, yang awalnya sempat mau diberi nama Suprema.
Marston mengatakan Wonder Woman adalah personifikasi wanita liberal modern di
masa itu ( https://en.wikipedia.org/wiki/William_Moulton_Marston ).
Walaupun niat Dr. Marston
menciptakan tokoh Wonder Woman cukup mulia, tapi sejak awal sudah ada
kontradiksi simbolis dalam gambar dan cerita Wonder Woman. Tokoh ini ingin
ditampilkan sebagai tokoh perempuan yang kuat dan mandiri (Superman versi
perempuan), tapi di saat yang bersamaan tidak bisa terlepas dari kekangan
stigma masyarakat bahwa seorang perempuan itu harus cantik dan lengkap
berdandan.
Bahkan kostum Wonder Woman
yang dibuat seperti pakaian renang bisa dianalisa cenderung mengumbar
seksualitas. Apalagi mayoritas pembaca buku komik saat itu adalah anak muda
yang sedang masa puber. Walaupun ada juga yang berpendapat bahwa kostum Wonder
Woman adalah bentuk pemberontakan feminisme terhadap stigma bahwa perempuan
harus berpakaian “sopan”. Entah mana yang benar-benar dipikirkan Dr. Marston
saat dia merancang kostm Wonder Woman.
Berbagai simbolisasi visual itu
menjadi latar belakang dari alur cerita Wonder Woman, yang di awal-awal terus mengadvokasikan
bahwa perempuan harus berani mandiri dan jangan hanya menjadi “kaum lemah” yang
seakan selalu membutuhkan perlindungan dan dirawat oleh kaum pria.
Lucunya (atau mungkin
ironisnya), ketika tokoh Wonder Woman diadopsi dalam serial TV dan film, yang
lebih membekas di ingatan banyak orang adalah kecantikan aktris pemerannya.
Seperti Lynda Carter di tahun 1970-an dan sekarang Gal Gadot. Jarang
dimunculkan konsep cerita-cerita awal Wonder Woman yang mengadvokasi
kemandirian perempuan secara gamblang (entah bila masih ada yang menangkap
pesan ini secara implisit).
Bahkan konsep awal Dr. Marston
bahwa Wonder Woman lebih memilih menggunakan rasa kasih sayang dalam menyelesaikan
masalah, sudah hampir tidak terlihat. Untuk pembaca komik tahun 1990-an dan
penonton film “Batman vs Superman: Dawn of Justice” tahun lalu, Wonder Woman
disajikan sebagai perempuan yang ditakuti banyak lawan karena kekuatan
fisiknya. Entah apakah ini penerjemahan zeitgeist atau memang sudah
dilupakannya ide-ide awal Dr. Marston.
Mungkin sudah jadi takdir Wonder
Woman untuk selalu menjadi simbol feminisme yang tidak pernah bisa lepas dari
stigma dunia maskulin.
Mungkin…
No comments:
Post a Comment