Triumvirat kedua dalam sejarah Roma antara Octavianus, Marcus Aerulius, dan Mark Antony dikenang oleh banyak orang sebagai persaingan kekuasaan tiga pemimpin yang berakhir dengan digantikannya Republik Roma dengan Kerajaan/Kekaisaran Roma. Ketiganya memiliki pandangan masing-masing tentang bagaimana cara terbaik memerintah Roma dan ketiganya pun saling bersaing untuk memaksakan pandangan tersebut. Saat ini Indonesia memiliki Triumvirat-nya sendiri dalam hal pemberantasan korupsi. Baik Kejaksaan, Kepolisian, maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sama-sama sibuk memerangi korupsi di negara ini tapi pada akhirnya seringkali mereka berbenturan.
Dalam sebuah negara hukum, Kepolisian dan Kejaksaan adalah perangkat negara yang tidak hanya harus ada tapi memang dibutuhkan keberadaannya. Namun karena kinerja keduanya dianggap jauh dari memuaskan dalam memberantas korupsi maka didirikanlah KPK, sebuah perangkat tambahan negara yang diberikan keleluasaan lebih untuk bertindak dan lepas dari intervensi penguasa. Dari sebuah perangkat tambahan negara yang diragukan kemampuannya, KPK telah berhasil meraih kepercayaan rakyat sampai pada titik bahwa hanya mereka yang memiliki kemampuan untuk memberantas korupsi di Indonesia.
Kebalikannya, baik Kepolisian dan Kejaksaan tidak berhasil meraih kepercayaan masyarakat. Kepolisian masih dilihat masyarakat sebagai perangkat negara yang penuh dengan personil-personil yang melakukan korupsi. Sedangkan bagi Kejaksaan contoh ketidak percayaan masyarakat dapat dilihat baru-baru ini. Ketika Kejaksaan mengumumkan aset negara yang berhasil mereka selamatkan dari tindak korupsi, salah satu media nasional memberitakannya dengan sudut pandang Kejaksaan telah meng-klaim berhasil menyelamatkan aset negara dan bukan sebagai sebuah prestasi. Keberhasilan KPK dalam memberantas korupsi tampaknya hanya dinikmati oleh KPK dan pemerintahan tapi tidak membantu Kejaksaan dan Kepolisian, yang sebenarnya adalah perangkat negara yang lebih utama.
Keberhasilan KPK, yang seakan merendahkan kinerja Kejaksaan dan Kepolisian, menjadikan korupsi sebagai isu utama dalam penegakan hukum di Indonesia. Seakan Kejaksaan dan Kepolisian tidak memiliki tugas lain selain memberantas korupsi. Berbeda dengan KPK yang memiliki tugas utama memberantas korupsi, Kejaksaan dan Kepolisian memiliki bidang-bidang lain dalam hukum yang harus diperhatikan. Tapi prestasi memberantas korupsi menjadi ajang “pertempuran” ketiganya saat ini.
“Pertempuran” antara Kejaksaan, Kepolisian, dan KPK dalam isu korupsi memuncak saat ini dengan ditahannya salah satu ketua KPK dengan tuduhan pembunuhan dan diperiksanya dua orang pimpinan KPK oleh Kepolisian dengan tuduhan penyalahgunaan kekuasaan. Bagi para pendukung KPK ini dipandang sebagai usaha sistematis untuk mengurangi kemampuan KPK dalam menjalankan tugasnya. Terutama karena sudah banyak orang penting yang ditangkap oleh KPK atas tuduhan korupsi. Dikeluarkannya pula Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang pimpinan KPK, dianggap oleh banyak orang sebagai aksi pengeroyokan oleh kelompok-kelompok kekuasaan yang merasa terancam dengan keberadaan KPK.
Namun ada juga yang berpendapat bahwa sikap KPK yang arogan menjadi salah satu penyebab mengapa KPK tidak disukai oleh perangkat negara yang lain. Menurut orang-orang ini, kekuasaan lebih yang dimiliki KPK telah membuat Komisi itu bersikap seenaknya dan terkesan meremehkan perangkat negara lain. Terlebih lagi di pemahaman mereka, KPK itu adalah perangkat tambahan yang sifatnya sementara dan seharusnya membantu Kejaksaan dan Kepolisian sebagai dua perangkat utama negara dalam hal pemberantasan korupsi.
Walaupun mendapat tekanan dari masyarakat dan institusi-institusi sosial, Kepolisian meneruskan pemeriksaannya terhadap dua ketua KPK. Pemerintah tetap mengeluarkan Perppu Plt Pimpinan KPK, setelah perayaan Hari Raya Idul Fitri. Bahkan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyatakan dukungannya terhadap Perppu tersebut. Padahal MK seharusnya hanya mengeluarkan pendapat dalam koridor Uji Materi. Sedangkan Kejaksaan seperti menjauhi diri dari sorotan masyarakat dalam isu ini.
Perdebatan yang terjadi di masyarakat saat ini memperlihatkan bahwa persaingan Kejaksaan, Kepolisian, dan KPK adalah masalah perebutan atau mempertahankan kekuasaan. Tapi ada masalah lainnya yaitu persaingan antar ketiganya berebut simpati masyarakat dan pemerintah. Melihat apa yang sedang terjadi di antara ketiganya seperti melihat tiga manusia bercelana pendek merah yang sedang memperebutkan hadiah dari guru atau orang tua. Ketiganya saling membanggakan keberhasilan masing-masing dan tidak ingin kalah antara satu dengan yang lainnya.
Pertanyaan yang muncul setelah itu apakah motivasi utama dari ketiganya dalam hal pemberantasan korupsi? Bila memang motivasinya adalah semulia menghilangkan praktek korupsi di Indonesia, dan bukan sekedar kebanggaan institusi, maka seharusnya pertentangan antara ketiganya lebih mudah dihindari karena ada rasa percaya dan saling mendukung di antara mereka. Bila ada rasa percaya maka Kejaksaan dan Kepolisian tidak akan merasa tersinggung bila ada anggotanya yang dijerat KPK dan begitu pula sebaliknya. Selain itu bila ketiganya saling mendukung maka keberhasilan yang satu akan dianggap sebagai keberhasilan yang lainnya pula.
Tentunya harus ditemukan pula mekanisme evaluasi kinerja gabungan ketiga perangkat itu. Ini penting agar mereka bukannya saling berkompetisi tapi bergerak bersama menuju satu tujuan. Walaupun persaingan itu kadangkala bagus untuk meningkatkan kinerja tapi saat terbukti hanya menimbulkan perpecahan maka harus ditemukan alternatifnya. Perebutan simpati masyarakat dan pemerintah yang terjadi antara Kejaksaan, Kepolisian, dan KPK adalah karena masing-masing merasa akan disingkirkan ketika kinerja yang lainnya dianggap lebih baik oleh masyarakat dan pemerintah.
Hasil akhir dari persaingan Kejaksaan, Kepolisian, dan KPK memang masih bisa diperdebatkan. Namun satu hal yang pasti, bila kinerja ketiga perangkat negara tersebut dalam memberantas korupsi menjadi terganggu, dengan beberapa kasus belakangan, maka untuk beberapa saat koruptor akan merajalela. Persaingan di antara Triumvirat Octavianus, Marcus Aerulius, dan Mark Antony menjadi awal kejatuhan Republik Roma dan munculnya kekuasaan tunggal Kekaisaran. Harapan kita jangan sampai persaingan Kejaksaan, Kepolisian, dan KPK berujung kepada otoriterianisme dalam pemberantasan korupsi yang cenderung mudah disalah gunakan.
No comments:
Post a Comment