Di film horor “Bayi Ajaib” tahun 1982, ada satu adegan sang antagonis menyusun kembali makam keramat leluhurnya dengan harapan dibantu menjadi lurah. Satu demi satu batu makam dia tegakkan sambil berkata “jadi lurah…jadi lurah”. Sekarang pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) bertebaran di Indonesia sebagai efek diperluasnya otonomi daerah. Buat yang masih gaib mungkin masih seperti di film “Bayi Ajaib”, mencari bantuan leluhur untuk memenangkan Pemilukada. Tapi saat ini lebih banyak calon yang mencari bantuan konsultan politik guna memenangkan kursi di daerah. Layaknya pepatah “ada gula, ada semut”, semakin banyak calon maka makin banyak pula konsultan politik yang muncul.
Namun acapkali yang menyebut dirinya konsultan politik sebenarnya lebih tepat disebut konsultan kampanye. Jasa-jasa yang umumnya mereka sediakan adalah pelaksanaan survei, penyusunan strategi dan taktik kampanye, pembuatan materi komunikasi (pidato, pernyataan media, dll), design materi kreatif (iklan televisi, spanduk, billboard, poster, dll), penempatan iklan di media massa, penggalangan dukungan LSM atau ormas, dan event organizer. Berdasar pada jasa-jasa inilah para konsultan itu menjanjikan kemenangan atau kampanye yang menarik kepada para calon kepala daerah.
Bila kita hitung jumlah propinsi dan kabupaten kota maka ada sekitar 523 Pemilukada yang harus dilaksanakan. Ini jumlah dari 32 propinsi (Yogyakarta yang Gubernur dan Wakilnya penetapan tidak disertakan), 398 kabupaten, dan 93 kota (Jakarta Selatan, Pusat, Barat, Timur, Utara dan Kepulauan Seribu tidak disertakan karena hanya administratif dan bukan daerah otonom, sehingga tidak ada Pemilukada). Bayangkan pasar sebesar itu tersedia untuk para konsultan politik di Indonesia. Jumlah pasti konsultan politik sendiri sulit diketahui karena banyak pula yang bekerja lepas (freelance), tapi bila untuk tiap Pemilukada saja ada 2 pasangan calon maka ada 1.046 pasangan calon kepala daerah yang membutuhkan jasa konsultan politik.
Ketika kita mengacu kepada kata ‘politik’ itu sendiri secara sederhana maka bidang ini mencakup pengelolaan berjalannya negara dan bangsa. Di dalam konteks tersebutlah lahir konsep ideologi, bentuk pemerintahan, kebijakan publik, kebijakan anggaran negara, penggunaan kekuasaan dan pemilihan umum. Umumnya yang dikenal sebagai konsultan politik lebih banyak berurusan dengan aspek pemilihan umum saja. Sedangkan aspek-aspek lainnya seperti ideologi dan pembuatan kebijakan publik jarang disentuh.
Seperti yang diutarakan di buku “Alpha Dogs” oleh James Harding (2008). Sawyer Miller Group, perusahaan besar yang memberikan jasa konsultasi kampanye di Amerika Serikat dan berbagai belahan dunia di tahun 1970-an dan 1980-an disebut sebagai konsultan politik. Walaupun Harding menulis sebenarnya mereka bukanlah pemikir dalam bidang politik. Fokus mereka hanyalah pada bagaimana supaya seorang calon bisa memenangkan pemilu atau mendapatkan kekuasaan yang didukung oleh mayoritas masyarakat. Bila calonnya menang maka mereka berlanjut ke klien yang lain di daerah/negara lain. Kalaupun mereka tetap bekerja untuk seorang klien setelah memenangkan pemilu, maka fokusnya lebih kepada komunikasi politik melalui media massa. Sawyer Miller Group inilah yang menjadi salah satu cikal bakal menjamurnya konsultan politik di Amerika Serikat yang pada tahun 2001 jumlahnya mencapai 7.000 orang (Johnson, 2001).
Bila pemilihan umum (Pemilu) yang menjadi fokus dari sang konsultan politik, mungkin bisa dipertimbangkan menggunakan sebutan baru yaitu konsultan kampanye. Istilah baru ini tampaknya lebih tepat, mengingat jasa yang diberikan konsultan politik pada saat Pemilukada condong kepada kegiatan kampanye dan memang di situ letak keahlian mereka.
Dennis W. Johnson (2001) dalam bukunya “No Place for Amateurs” juga menggunakan istilah konsultan politik namun sesekali dalam bukunya dia menggunakan istilah konsultan kampanye. Mereka adalah orang-orang profesional yang memiliki keahlian dalam merekomendasikan dan menjalankan taktik-taktik kampanye untuk kemenangan seorang calon/partai politik dalam sebuah Pemilu.
Taktik-taktik kampanye yang disusun oleh konsultan politik, atau konsultan kampanye, sebenarnya diadopsi dari kegiatan pemasaran dan komunikasi sektor swasta. Umumnya mereka memulai dari survei statistik dan focus group discussion (FGD). Fungsi utama survei statistik adalah untuk mengetahui tingkat elektabilitas, kesukaan dan popularitas calon-calon/para pasangan calon yang akan bersaing, isu-isu yang populer di kalangan pemilih, demografis dan psikografis masyarakat, perkiraan jumlah swing voters, cara interaksi yang disukai pemilih dan masih banyak lagi. Ini dikombinasikan dengan pemetaan politik yang mencakup data jumlah pemilih, tempat pemungutan suara dan afiliasi politik tokoh atau kelompok masyarakat.
Dari situ disusun sebuah kampanye yang mencakup strategi, tema besar dan taktik. Harding (2008) menuliskan bahwa strategi utama dalam sebuah Pemilu sebenarnya hanya ada dua, yaitu teruskan dan berubah. Hanya pengemasannya saja yang berbeda-beda. Penjelasan tentang strategi kampanye ini pernah diulas di sini. Untuk tema besar contohnya adalah seperti “Bersama Kita Bisa”, “Change: Yes We Can”, “Lebih Cepat, Lebih Baik”, dll. Satu yang perlu diingat, tema besar bukanlah sekedar slogan. Ini merupakan hasil analisa keadaan di daerah pemilihan, keinginan pemilih dan tawaran penyelesaian masalah yang diusung sang calon. Tema besar ini juga harus tercermin dalam visi, misi, dan rangkaian program yang diajukan. Selain itu sebuah tema besar perlu diterjemahkan pula menjadi rangkaian taktik kampanye yang kreatif dan dapat menarik orang untuk berpatisipasi. Acapkali taktik kampanye hanya menjadi ajang orasi, padahal yang tidak kalah penting adalah partisipasi pemilih.
Bagi seorang konsultan politik, jasa dan keahlian yang diberikan tidak hanya khusus kepada kampanye tapi juga mencakup aspek strategis dan taktis politik. Contohnya adalah pemilihan/penyusunan ideologi, penyusunan kebijakan publik dan anggaran negara, serta tata pemerintahan. Ini juga menunjukkan bahwa periode waktu penggunaan jasa seorang konsultan politik juga akan menjadi lebih panjang karena tidak terbatas pada masa kampanye Pemilu/Pemilukada. Di dalam pemenangan Pemilu/Pemilukada, konsultan politik juga akan menimbang aspek politik taktis yang umumnya tidak menjadi perhatian konsultan kampanye. Seperti menjaga kenetralan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD), panitia pengawas pemilu (Panwaslu), Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), aparat keamanan (Polisi & TNI), dan juga pelatihan serta penempatan saksi di TPS. Ditambah juga dengan tim hukum yang baiknya sudah disiapkan dari awal untuk menjaga kemenangan atau menggugat kekalahan di Mahkamah Konstitusi, bila di Indonesia.
Dikotomi antara istilah konsultan politik dan konsultan kampanye bukanlah perdebatan mana yang lebih baik. Tapi lebih kepada kejujuran penggunaan istilah dan pemahaman ruang lingkup kerja. Konsultan politik dan konsultan kampanye harus dipahami sebagai aktor-aktor aktif, bahkan mungkin penggerak, dalam demokrasi. Paling penting mereka juga harus memahami bahwa di pundak mereka ada tanggungjawab menjaga demokrasi karena taruhannya adalah kesejahteraan rakyat lima tahun ke depan.
No comments:
Post a Comment