Beberapa waktu yang lalu CNN menayangkan sebuah segmen tentang bagaimana baiknya perusahaan sekarang berhadapan dengan Generasi Milenial. Segmen ini dianggap penting karena makin banyak perusahaan yang mengeluh tentang perilaku unik Generasi Milenial yang menurut mereka merepotkan. Begitu juga beberapa teman saya sudah mengeluhkan tentang etika bekerja generasi Milenial yang sangat berbeda. Perhatian yang begitu besar di dunia swasta tentang transisi generasi ini menimbulkan pertanyaan bagaimana karakter unik Generasi Milenial akan mempengaruhi sikap nasionalisme di masa sekarang dan ke depan? Terutama di Indonesia.
Definisi teoritis Generasi Milenial adalah mereka yang lahir di antara tahun 1980-2001. Indonesia sendiri sudah berumur senja tapi memiliki wajah yang muda. Menurut data BPS Juli 2011 jumlah penduduk yang masuk kategori Generasi Milenial mencapai lebih kurang 104 juta orang atau 43 persen. Bahkan bila kita ingin kembangkan, saat ini 70 persen penduduk Indonesia berumur di bawah 40 tahun. Wajah mayoritas penduduk Indonesia yang begitu muda menunjukkan ada transisi generasi dan dengan itu ada perubahan perilaku di berbagai bidang, termasuk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sudah dilakukan penelitian-penelitian tentang karakteristik Generasi Milenial. Beberapa yang menonjol adalah pertama, merasa dirinya spesial atau merasa orang lebih membutuhkan diri mereka daripada sebaliknya. Kedua, lebih suka bekerjasama dalam suatu kelompok atau lebih ingin diidentifikasi sebagai bagian dari sebuah kelompok. Ketiga, bersikap optimis terhadap masa depannya. Keempat, bergantung kepada teknologi untuk berkomunikasi dan menjalani hidup. Kelima, keluarga dan teman sangat penting dalam kehidupan mereka. Keenam, selalu mengejar kesuksesan dalam hidup. Ketujuh, mengutamakan kehidupan pribadi dibanding kehidupan profesional. Kedelapan, melihat segala sesuatu secara global terutama karena kebebasan informasi yang mereka peroleh.
Perlu diingat bahwa semua karakteristik di atas merupakan hasil analisa sektor swasta dan pendidikan. Namun karena tertanam secara psikologis maka tidak heran bila perilaku mereka turut memengaruhi kehidupan berbangsa dan bernegara atau dalam sikap nasionalisme. Tentunya ini perlu menjadi perhatian apalagi melihat perilaku mereka yang selalu berpikir global. Tidak ada yang salah dengan berpikir secara global tapi saat seluruh dunia mulai menyatu, bagaimana nasionalisme dapat terus bertahan, bahkan menguat?
Nasionalisme sendiri adalah suatu rasa, semangat dan wawasan tentang identitas diri yang mengikat sekelompok orang yang menamakan dirinya “bangsa”. Otto Bauer menyebutnya sebagai persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib. Ernest Renan menyebutnya sebagai persatuan yang muncul dari kehendak bersama. Sedangkan Bung Karno menyebutnya sebagai persatuan manusia dengan tanah airnya, atau persatuan tempat dengan orang. Perlu diingat bahwa setiap definisi tersebut lahir dari zeitgeist atau semangat jamannya masing-masing. Sekarang di jaman generasi Milenial tampaknya kita membutuhkan definisi nasionalisme yang baru, yaitu Nasionalisme Milenial.
Kemunculan nasionalisme pada masa perang dingin turut didorong dengan adanya kesamaan keinginan untuk membebaskan diri dari kolonialisme. Sekarang saat kolonialisme hanya bisa ditemukan di buku-buku sejarah, nasionalisme memerlukan dorongan lain untuk penguatannya. Dulu orang berjuang bersama untuk merdeka, namun sekarang Generasi Milenial lahir di masa saat kemerdekaan sudah diraih dan ada kemapanan. Perlu ditemukan jawaban baru atas pertanyaan “Kenapa kita harus bersatu sebagai sebuah bangsa?”
Bukan salah bunda mengandung bila Generasi Milenial memiliki karakteristik yang unik sehingga tidak cukup meyakinkan mereka hanya dengan paham nasionalisme yang lama. Perlu adanya revitalisasi nasionalisme yang mengakar kepada nilai dan cita-cita bangsa. Dalam tulisan “Revitalisasi Identitas Bangsa di Era Globalisasi”, saya sudah menjelaskan pentingnya revitalisasi nilai dan cita-cita bangsa sebagai penguatan identitas bangsa Indonesia. Sekarang mengingat Generasi Milenial adalah wajah mayoritas bangsa Indonesia maka tentunya revitalisasi nilai dan cita-cita bangsa perlu dibuat relevan dengan cara mereka berpikir.
Di “Indonesia Butuh Pancasila”, saya menuliskan bahwa untuk aspek nilai kebangsaan kita sudah memiliki Pancasila, yang tinggal mau apa tidak kita laksanakan. Mengingat bahwa Generasi Milenial suka menganggap dirinya spesial dan lebih menyukai bekerjasama dalam suatu kelompok, maka Pancasila masih sangat relevan dalam kehidupan mereka. Sebab Pancasila itu spesial sebagai ideologi yang berasal dari dan untuk Indonesia. Terlebih lagi intisari Pancasila adalah gotong royong, atau serupa dengan kerjasama dalam sebuah kelompok.
Tapi bagaikan buah simalakama, kedua karakteristik tersebut juga yang menyulitkan pendefinisian Nasionalisme Milenial Indonesia. Sebab ini berarti sebelum Generasi Milenial bangsa ini mau memperjuangkan sesuatu maka mereka harus terlebih dahulu melihat relevansinya atau nilai tambahnya terhadap kehidupannya. Terlebih lagi mereka terbiasa dengan kebebasan untuk memilih, seperti saat sedang mengkonsumsi berbagai informasi dari internet. Tidak bisa diharapkan Generasi Milenial Indonesia mendukung Pancasila sebagai bagian dari nasionalisme bangsa bila tidak terlihat manfaat Pancasila dalam kehidupan nyata.
Untuk aspek cita-cita, bila kita melihat karakteristik Generasi Milenial di atas maka diperlukan apa yang Bill Clinton sebut sebagai “The New Covenant” atau “Perjanjian Baru” antara pemerintah dengan warga negaranya. Dalam buku Clintonomics (2009) pemikiran “Perjanjian Baru” tersebut dilandaskan pada teori social contract. Bill Clinton dalam konsepnya ingin mengembalikan Negara dari tangan birokrasi yang tidak cakap kembali kepada warga negaranya. Fokusnya adalah mengembalikan fungsi Negara guna melayani rakyatnya untuk mencapai sebuah cita-cita bersama.
Memahami fungsi Negara menjadi penting dalam pendefinisian Nasionalisme Milenial karena Generasi ini butuh diyakinkan bahwa dengan memilih menjadi sebuah bangsa dapat memberikan nilai tambah kepada kehidupan mereka, keluarga dan kelompok hidupnya. Aktor yang bisa menyediakan pilihan itu adalah Negara itu sendiri. Francis Fukuyama dalam bukunya State Building (2004) membagi fungsi Negara menjadi tiga. Fungsi dasar, fungsi yang diinginkan dan fungsi pilihan. Fungsi dasar seperti penyediaan kebutuhan pokok, kesehatan dan keamanan. Fungsi yang diinginkan seperti penyediaan jaminan kesehatan dan pengaturan kebijakan finansial. Sedangkan fungsi pilihan seperti industrialisasi penguatan pasar modal.
Negara-lah yang bisa menunjukkan bahwa dengan menjadi bagian dari Indonesia maka hidup seseorang dalam sebuah wilayah akan menjadi lebih baik. Jika tidak maka jangan heran bila ke depannya makin banyak orang Indonesia yang memilih untuk menjadi warga Negara AS, Inggris, Australia, atau Singapura. Bermula dari brain drain menjadi pindah kewarganegaraan. Pembelaan mereka sederhana “Apa untungnya saya menjadi warga Negara Indonesia? Kehidupan saya lebih baik di Negara lain”.
Dari seluruh penjelasan di atas maka Nasionalisme Milenial Indonesia harus memiliki tiga unsur. Pertama adalah Pancasila, sebagai pemikiran unik dan asli Indonesia. Kedua adalah peran Negara memenuhi kebutuhan dasar dan memberikan nilai tambah kepada penduduknya. Ketiga adalah penekanan wilayah dari Sabang sampai Merauke, mengacu kepada konsep persatuan manusia dengan tanah airnya. Jadi Nasionalisme Milenial Indonesia adalah “Persatuan untuk mencapai kemajuan kehidupan secara bersama di wilayah Indonesia, yang digerakkan oleh Negara dengan memenuhi fungsinya dan berakar pada Pancasila”. Semoga dengan konsep ini, rasa nasionalisme Generasi Milenial Indonesia semakin menguat.
No comments:
Post a Comment