Di atas kertas konflik Lampung Selatan menjadi satu tambahan
angka bagi 89 konflik sosial yang telah terjadi di Indonesia dari Januari
hingga Agustus 2012 (data Kemdagri). Namun di atas semangat Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) konflik Lampung Selatan adalah satu noda hitam lagi
setelah adanya 89 noda hitam konflik sosial yang tersebar di Nusantara
sepanjang tahun. Noda hitam peristiwa Lampung Selatan pun semakin membesar
dengan kegagalan upaya mendamaikan desa-desa yang bertikai (Kompas, 1 November 2012). Inilah
kenyataan sosial Indonesia yang mengkhawatirkan dan segera membutuhkan solusi.
Solusi yang kita butuhkan sebenarnya tidak perlu dicari lagi.
Sebab sudah ada tertanam sebagai wujud kearifan nasional kebangsaan Indonesia yaitu
konsep Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tapi tetap satu jua. Bhinneka Tunggal
Ika telah ditempatkan sebagai satu dari empat pilar kehidupan berbangsa dan
bernegara yang kita harapkan menjadi pilar kokoh menopang keberlangsungan
Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara. Berbagai konflik sosial yang
terjadi, termasuk gagalnya upaya pendamaian di Lampung Selatan, menunjukkan
kepada kita bahwa walaupun Bhinneka Tunggal Ika sudah ditanamkan dalam benak
rakyat Indonesia tapi dia belum bertumbuh secara penuh. Dia belum bertumbuh
menjadi pohon rindang yang mampu memberikan kenyamanan dan lindungan dari
teriknya sinar perpecahan serta egoisme kelompok.
Dulu kita pernah dengar istilah “Islam KTP”, “Kristen KTP”,
dll yang disebut orang bila ingin menggambarkan perilaku keseharian seseorang
yang tidak sesuai dengan ajaran agamanya. Pantaskah sekarang dimunculkan
istilah “Indonesia KTP” untuk menjuluki perilaku orang Indonesia yang tidak ke-Indonesia-an?
Keramahan, gotong royong, berat sama dipikul ringan sama dijinjing, termasuk
Bhinneka Tunggal Ika adalah beberapa dari sekian banyak perilaku
ke-Indonesia-an yang positif. Sedihnya perilaku itu juga adalah beberapa dari
sekian banyak perilaku ke-Indonesia-an yang sering diabaikan oleh orang
Indonesia sendiri. Baru saja kita memperingati Sumpah Pemuda yang menandakan
peristiwa monumental kala para pemuda-pemudi Indonesia menanggalkan jubah
kedaerahannya untuk bersama memakai jubah Indonesia. Tapi sekarang kita masih sering
mendengar orang yang lebih mengedepankan kesukuannya sebagai identitas diri
dibanding kebangsaannya. Ibu Megawati Soekarnoputri pernah berkata dia heran
mendengar kenapa masih ada orang Indonesia yang bertanya kepada orang Indonesia
lainnya “Kamu orang apa?” Keheranan beliau muncul karena baginya kita semua
adalah sama yaitu orang Indonesia.
Kita sendiri sering merasa senang atau “bangga” ketika
mengetahui ada atlit, pengusaha, atau selebritas asing yang sukses ternyata
memiliki darah keturunan Indonesia. Namun menjadi orang Indonesia bukanlah
sebatas keturunan. Bukan sebatas KTP. Bukan sebatas tulisan di paspor. Menjadi
orang Indonesia berarti mencakup perilaku yaitu penyerapan, pemahaman, dan
pelaksanaan kearifan nasional bangsa seperti Bhinneka Tunggal Ika.
Sebagai pilar kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia,
Bhinneka Tunggal Ika sangatlah penting dengan jumlah suku bangsa kita yang
mencapai 1.128 (data BPS sensus 2010). Jumlah yang besar tersebut mengingatkan
kita bahwa tanpa persatuan dalam perbedaan maka potensi konflik sosial akan
semakin membesar.
Membiarkan badai-badai kecil konflik sosial seperti di
Lampung Selatan hanya akan memberikan momentum terbentuknya badai besar yang
dapat memecah belah NKRI yang sudah berumur 67 tahun ini. Pembiaran badai-badai
kecil tersebut juga seperti memberi amunisi kepada kelompok yang ingin ada
legislasi yang memungkinkan penggunaan hard
power di dalam negeri atas nama keamanan nasional. Padahal akan jauh lebih
arif bila konflik sosial di Indonesia dapat diselesaikan dengan menumbuhkan
konsep Bhinneka Tunggal Ika, yang akarnya sudah ditanamkan sejak dulu kala dan
sudah diperkuat kembali oleh para pemimpin bangsa di masa sekarang sebagai
bagian dari empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara.
Untuk mencegah “Indonesia KTP” kita perlu kembali kepada
kearifan nasional bangsa kita sendiri dan melaksanakannya dalam perilaku
keseharian. Mungkin memang tidak mudah melaksanakan kearifan nasional seperti
Bhinneka Tunggal Ika tapi bukannya tidak mungkin. Kita lihat saja bangsa lain
yang kearifannya tidak hanya berjaya di negaranya sendiri tapi juga di berbagai
negara lain di dunia. Sebelum mereka “meng-ekspor” kearifan bangsa mereka ke
bangsa lain, terlebih dahulu mereka menguatkan pertumbuhan kearifannya di antara
bangsanya sendiri. Lihat Amerika Serikat, Cina, dan Inggris. Kearifan nasional
mereka yang mengambil bentuk sistem serta produk ekonomi, politik, dan budaya
sudah mengakar kuat dan bertumbuh di bangsanya sendiri sebelum cabang-cabangnya
merambah ke bangsa lain. Buah-buah kearifan nasional mereka sekarang dapat
ditemukan di berbagai bangsa dunia, termasuk Indonesia.
Mimpi para founding
fathers kita adalah agar Indonesia menjadi sebuah bangsa yang besar dengan
cara dan ciri khas-nya sendiri. Contohnya ketika Bung Karno dalam pidatonya di
sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) pada tanggal 1 Juni
1945 menyebutkan berbagai contoh Weltanschauung
(wawasan) yang menjadi dasar kemerdekaan bangsa lain seperti Jerman, Jepang,
Cina dan Rusia. Namun akhirnya untuk dasar kemerdekaan Indonesia, Bung Karno
memaparkan ideologi yang digali dari bumi pertiwi Indonesia sendiri, yaitu
Pancasila. Ideologi ini yang sejak awal kemerdekaan hingga sekarang sudah
menjadi ciri khas Indonesia yang tidak boleh kita lupakan, atau seperti kata
Puan Maharani, jangan sampai bangsa Indonesia menjadi “Tuna Pancasila”.
Tidak boleh kita lupa juga pada bagian akhir pidatonya
tentang Pancasila, Bung Karno menyebutkan Weltanschauung
tidak dapat menjadi kenyataan bila tidak diperjuangkan oleh manusianya. Maka
bila kita tidak ingin dijuluki sebagai “Indonesia KTP”, kita orang Indonesia harus
menjadi aktor-aktor yang menggerakkan penerapan kearifan nasional di negara
ini. Termasuk menerapkan Bhinneka Tunggal Ika sebagai salah satu pilar kehidupan
berbangsa dan bernegara kita untuk menyikapi berbagai konflik sosial.
No comments:
Post a Comment