Dalam kosa kata politik Indonesia selama beberapa tahun terakhir dikenal istilah “pencitraan politik” yang acapkali menjadi sumber perdebatan negatif di masyarakat. Bagi banyak orang di Indonesia istilah tersebut digunakan secara negatif untuk menggambarkan seseorang/kelompok yang membangun citra (image) secara semu, atau tanpa adanya bukti nyata. Padahal mengingat pencitraan politik masuk ke dalam ranah pemasaran politik (political marketing) maka sebenarnya “produk” yang dijual ke pemilih ada empat. Pertama, ideologi dari partai politik. Kedua, program-program yang diajukan partai politik. Ketiga, rekam jejak (track record) partai politik. Keempat, karakteristik dari tokoh-tokoh yang ada di partai politik tersebut. Jadi secara teori, pencitraan politik seharusnya berakar pada kenyataan.
Namun jauh panggang dari api, pelaksanaan pencitraan politik telah berubah menjadi “politik pencitraan” yang lebih condong kepada propaganda. Dalam arti teknik tersebut digunakan untuk membangun citra guna memeroleh dukungan masyarakat, padahal acapkali tidak terasa kenyataannya. Sebagai buah dari metode kampanye politik modern, pencitraan politik mulai diterapkan di Indonesia pada masa pemilihan umum (pemilu) 2004 yang mengangkat Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden terpilih langsung pertama. Sistem pemilu presiden yang berubah menjadi pemilihan suara terbanyak juga menjadi pupuk yang menyuburkan praktik pencitraan politik di Indonesia. Ironisnya, praktik pencitraan politik yang turut berperan menghantarkan Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden di tahun 2004, malah menuai kritik demi kritik selama 9 tahun pemerintahannya.
Tampaknya mimpi presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri saat menyetujui adanya pemilihan presiden secara langsung, yaitu agar penerapan demokrasi di Indonesia tidak kembali pada suasana lama, di saat rapat dengan para pimpinan Fraksi MPR, tidak terwujud. Sebagai pemimpin kala itu, Megawati berani mengambil keputusan tersebut di tengah berbagai analisa yang menyatakan justru beliau akan dirugikan dengan dilaksanakannya sistem pemilihan presiden secara langsung. Nyatanya sekarang kita sudah pada titik kata pencitraan memiliki makna negatif di dalam dialektika masyarakat.
Gaya pribadi presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memiliki hobi menyanyi, yang sempat sering menggunakan kata prihatin tapi dipandang tidak melakukan tindakan nyata, yang dianggap terlalu sering menangis, telah menyumbang pada pengubahan makna pencitraan politik menjadi politik pencitraan. Penilaian atas kinerja presiden bukan lagi bertitik berat pada gaya manajemen pemerintahannya (government management style) tapi lebih condong kepada gaya pribadi beliau (personal style). Walaupun begitu kenyataannya di tengah berbagai kritikan atas politik pencitraan, presiden Susilo Bambang Yudhoyono terpilih kembali menjadi presiden di tahun 2009. Bahkan akhir-akhir ini berbagai tokoh politik, bila dilihat secara objektif teoritis, juga menggunakan teknik pencitraan politik, seperti Jusuf Kalla, Jokowi, Dahlan Iskan, Mahfud MD, dll. Akan tetapi ketika kemudian penilaian berubah dari objektif teoritis menjadi subjektif preferensi maka pencitraan politik pun akhirnya dipandang sebagai politik pencitraan.
Contohnya bisa kita liat dalam kasus anyar mobil listrik Tucuxi yang melibatkan Dahlan Iskan sebagai Menteri BUMN. Sebelum terjadi kecelakaan Tucuxi, Dahlan Iskan sedang menjadi public darling (termasuk media darling) yang dipandang positif. Saat menjadi public darling bahkan ketika Dahlan Iskan membuat kesalahan dalam penyebutan nama anggota DPR ‘pemalak’ BUMN, tetap saja gelombang positif yang mendukungnya lebih besar dari gelombang negatif yang menyerangnya. Di awal usaha Dahlan Iskan menggalakkan pembuatan mobil listrik Indonesia, dukungan terhadapnya memang semakin besar. Akan tetapi kasus Tuxuci, tepatnya ketika pembuat mobil menyatakan Menteri BUMN telah melakukan pencurian teknologi, tidak memiliki ijin uji coba di jalan umum, serta menggunakan pelat nomer palsu, persepsi orang atas praktik pencitraan politik Dahlan Iskan mulai bergeser menjadi politik pencitraan. Sebagai pemimpin Kementerian BUMN, ‘pertunjukan’ Dahlan Iskan di media lebih menjadi perhatian dan sumber penilaian kinerja. Bukan lagi apakah rencana strategis (rensta) Kementerian BUMN sudah dipenuhi atau belum. Apakah janji berbagai IPO BUMN sudah terjadi atau belum.
Sebenarnya bila dipandang secara objektif teoritis, pencitraan politik (bukan politik pencitraan) adalah sebuah kebutuhan bagi partai politik ataupun seorang tokoh politik. Lihat saja era tiga tahun pemerintahan Megawati yang sebenarnya hingga sekarang sering tidak dimengerti banyak pihak. Kasus Sipadan Ligitan yang sebenarnya sudah ada sejak 1967 dan masuk ke Mahkamah Internasional pada tahun 1998, era Soeharto, akhirnya menjadi borgol politik rekam jejak Megawati dan PDI Perjuangan. Tentang kontrak LNG Tangguh yang pada era Megawati sudah maksimal diperjuangkan, tidak kunjung diperbaharui nilai kontraknya oleh pemerintah setelah jaman Megawati, walaupun ada pasalnya. Hingga muncul kesan ingin menjadikan LNG Tangguh sebagai borgol politik Megawati dan PDI Perjuangan.
Prestasi di tiga tahun pemerintahan Megawati juga tidak diingat baik oleh banyak pihak. Padahal di dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono sendiri menuliskan bahwa: “Sampai tahun 2004, stabilitas moneter relatif terjaga tercermin dari nilai tukar rupiah yang relatif stabil, laju inflasi dan suku bunga terkendali, cadangan devisa terjaga, dan ketahanan fiskal membaik. Dalam lima tahun terakhir, rasio pinjaman/PDB menurun sekitar 35 persen. Meningkatnya stabilitas moneter juga didukung oleh ketahanan sektor keuangan. Pada tahun 2003, rata-rata CAR perbankan meningkat menjadi 19,4 persen dan gross NPL menurun menjadi 7,7 persen”. Belum lagi tentang pemutusan kontrak dengan International Monetary Fund (IMF) yang mengandung tujuan kedaulatan politik, atau pemberhentian impor beras yang berujung kepada swasembada beras. Bahkan sudah banyak tokoh menyebutkan bahwa salah satu alasan mengapa Megawati tidak terpilih menjadi presiden pada tahun 1999 adalah karena minimnya komunikasi politik PDI Perjuangan dengan kekuatan politik lain di MPR. Terlebih lagi di era Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Menko Polkam banyak mendapat tugas sebagai juru bicara pemerintahan yang menjadi panggung awalnya dalam pencitraan politik.
Berbagai contoh menunjukkan bahwa antara rakyat Indonesia dengan pencitraan politik terdapat hubungan benci tapi rindu. Walaupun pencitraan politik yang masif dikritik dari segala arah sebagai politik pencitraan, namun sejarah membuktikan politik tanpa pencitraan akan memarjinalkan berbagai keberhasilan aktor politik (partai atau tokoh politik). Selain itu terus ada dorongan yang meminta agar para aktor politik menguatkan komunikasi dengan rakyat, dan ini secara teoritis merupakan bagian dari pencitraan politik. Mungkin untuk hubungan antara politik, pencitraan dan rakyat/pemilih, berlaku kalimat dari presiden ke-3 RI Habibie, yaitu “Tak perlu seseorang yang sempurna, cukup temukan orang yang membuatmu bahagia dan membuatmu lebih berarti dari siapapun”.
No comments:
Post a Comment