Indonesia
sudah masuk tahun politik dengan akan dilangsungkannya pemilihan umum
legislatif (Pileg), pada bulan April 2014, dan pemilihan presiden (Pilpres), sekitar
bulan Juli 2014. Membaca berbagai pemberitaan media massa dan diskusi publik di
jejaring sosial seperti Twitter, tampak perhatian banyak orang lebih tertuju
kepada Pilpres dibandingkan Pileg.
Setidaknya
ada tiga faktor mengapa ini terjadi. Pertama, figur tokoh yang dianggap/menyatakan
akan menjadi capres lebih menarik ketika dibahas baik di media massa maupun
jejaring sosial. Kedua, hasil Pileg lebih kurang ketepatan perkiraan hasilnya dianggap
sudah tinggi. Ketiga, tingkat kepercayaan publik/pemilih kepada partai politik
(parpol) sedang berada di titik yang rendah.
Novel Capres 2014
Hampir
setiap diskusi tentang Pilpres atau capres sangat seru karena begitu variatif,
menarik disimak, dan dikomentari banyak pihak. Pembahasan tentang figur seperti
Ibu Megawati, Joko Widodo, Prabowo, Aburizal Bakrie, Wiranto, para peserta
konvensi Capres Partai Demokrat memikat masyarakat seperti sebuah novel memikat
pembacanya.
Cerita
masing-masing tokoh serta interaksi antar mereka menarik perhatian banyak orang.
Ada bumbu intrik, misteri, pertemanan, dan permainan politik dalam pemberitaan
dan pembahasan para tokoh dalam bursa capres. Membaca cerita capres 2014, sudah
hampir seperti membaca novel “Game of
Thrones” yang menjadi populer karena cerita interaksi berbagai tokoh di
dalamnya. Ada tokoh yang kita dukung, ada yang kita benci, dan semuanya kita
ikuti untuk mengetahui bagaimana ceritanya akan berakhir.
Hasil Pileg Tentukan Hasil Pilpres
Namun
kita jangan lupa bahwa hasil Pilpres akan bergantung pada hasil Pileg, walaupun
mungkin kalah populer pembahasannya. Dalam UU No. 42 tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tertulis bahwa pasangan capres dan
cawapres harus diusulkan parpol atau gabungan parpol dengan perolehan kursi DPR
paling sedikit 20 persen atau 25 persen suara sah nasional dalam Pileg. Kedua
angka tersebut yang kemudian dinamakan presidential
threshold sebagai istilah umumnya. Maka jelas hasil Pileg adalah variabel
legislasi penting yang akan turut menentukan hasil Pilpres 2014.
Di
kalangan para pengamat politik dan politikus ada anggapan bahwa hasil Pileg
sudah hampir bisa dipastikan dengan pemenangnya antara PDI Perjuangan atau
Golkar. Survei Kompas tanggal 27
Agustus 2013 menunjukkan PDI Perjuangan elektabilitasnya tertinggi (23,6%),
disusul oleh Golkar (16%), Gerindra (13,6%), Partai Demokrat (10,1%), PKB
(5,7%), PPP (4,8%), Nasdem (4,1%), Hanura (2,7%), PAN (2,5%), PKS (2,2%),
dengan undecided voters 13,4%.
Kebanyakan hasil survei lainnya juga menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda.
Perlu
diingat bahwa berbagai hasil survei Pileg lebih menunjukkan jumlah suara
nasional yang bisa diperoleh sebuah parpol, bukan jumlah kursi di DPR nantinya.
Jadi pembahasan survei-survei Pileg juga masih sangat condong kepada prediksi
warna peta politik untuk Pilpres.
Tentu
ini dengan perkiraan bahwa tidak akan ada perubahan atas UU No. 42/2008 di DPR.
Hingga saat ini di DPR belum diputuskan nasib UU tersebut. Hasil Sidang
Paripurna pada 24 Oktober 2013 hanya memutuskan bahwa pembahasan UU No. 42/2008
ditunda tapi tidak dikeluarkan dari Prolegnas 2013. Bahkan bila UU Pilpres yang
baru sudah diputuskan pun kita masih harus perhitungkan keputusan Mahkamah
Konstitusi (MK) sebab sudah hampir pasti UU Pilpres yang baru akan digugat di
MK, apapun hasilnya.
Keputusan
MK nantinya atas UU Pilpres yang baru tidak bisa diremehkan. Kita sudah melihat
sendiri bagaimana menjelang pemilu 2009 sebuah keputusan dari MK, perihal caleg
terpilih berdasarkan suara terbanyak, telah menjungkirbalikkan peta politik
saat itu. Menjadi lebih menarik bagaimana MK akan menyikapi gugatan atas UU
Pilpres di tengah prahara yang menyelimuti insitusi tersebut dengan kasus
dugaan korupsi yang menimpa mantan ketua-nya serta kerusuhan di kantor MK baru-baru
ini atas putusan terhadap sengketa salah satu hasil pilkada.
Cobaan bagi Parpol
Terlepas
dari prediksi hasil Pileg maupun Pilpres 2014, parpol-parpol di Indonesia
memang sedang menghadapi cobaan berat dalam meraih kepercayaan dan minat
masyarakat untuk mendukung mereka. Dugaan korupsi, tren afiliasi masyarakat
terhadap sebuah parpol cenderung menurun, dan data International Institute for
Democracy and Electoral Assistance (International IDEA) turut menunjukkan tren
pemilih atau voter turnout di dunia
cenderung menurun. Begitu juga di Indonesia walaupun angka voter turnout kita masih tinggi di kisaran 70 persen.
Bagaimanapun
kondisinya, parpol sebagai komponen penting dalam sistem demokrasi perlu terus memberi
pendidikan politik kepada rakyat tentang pentingnya terlibat dalam proses
demokrasi seperti Pileg. Sebab walaupun kalah popularitas tapi Pileg di
Indonesia secara konstitusional tidak kalah penting dalam menentukan arah hasil
Pilpres. Bahkan ketika pemilu 2014 telah selesai, hasil Pileg akan mewarnai
proses legislasi, pengawasan, dan anggaran Negara yang mempengaruhi kehidupan
seluruh rakyat Indonesia. Melalui Pemilu-lah rakyat Indonesia memiliki kuasa
menentukan masa depan 5 tahun Negara ini.
No comments:
Post a Comment