Politik Indonesia akhir-akhir ini penuh ciri-ciri ideologi liberalisme. Dua contoh utama adalah politik transaksional yang menjadi praktik umum dan hukum pasar menjadi solusi utama untuk ekonomi. Bila ini berlanjut maka keadilan sosial tidak akan tercapai di negara ini dan rakyat hanya akan melihat negara sebagai pelayan penguasa/pemodal dan bukan pelayan masyarakat. Obat untuk penyakit ini sebenarnya sudah ada, yaitu ideologi Pancasila, tinggal apakah kita mau menggunakannya atau tidak.
Dalam tataran teori yang dimaksud dengan ideologi adalah sebuah cita-cita yang terstruktur dan digerakkan oleh pengetahuan. Dalam tataran praktik, ideologi berperan sebagai penuntun dan tolok ukur dalam penyelenggaraan negara (kebijakan publik, implementasi kebijakan, manfaat kebijakan, dll) serta sebagai bingkai tatanan kehidupan masyarakat. Selain itu ideologi juga mempunyai tiga fungsi utama. Pertama sebagai pemersatu masyarakat. Kedua sebagai dasar bagi masyarakat untuk berperilaku. Ketiga sebagai penggerak masyarakat.
Ciri-ciri ideologi liberalisme bertumbuh di masyarakat Indonesia dapat dilihat dari berbagai praktik. Salah satunya politik transaksional yang merupakan kegiatan politik yang berfokus kepada jual-beli atau perdagangan kepentingan. Pola perilaku dan pikir seperti ini menghasilkan kebijakan-kebijakan politik yang hanya menguntungkan segelintir orang. Hasilnya masyarakat makin tidak percaya dengan politik dan politisi. Sering kita dengar istilah “politik itu kotor” atau “poli-tikus” dari mulut banyak orang. Itulah wujud ketidakpercayaan orang setelah melihat, membaca dan mendengar maraknya praktik politik transaksional.
Pembentukan Setgab koalisi menjadi satu contoh karena kerjasama antar partai-partai politik itu jelas tidak didasarkan pada kesamaan platform atau kepercayaan namun kekuasaan, atau tepatnya kursi kekuasaan yang sangat bersifat transaksional. Faktor pengikatnya yang begitu pragmatis, seringkali Setgab koalisi disulitkan dengan keributan di antara mereka sendiri. Lihat saja peristiwa Hak Angket Pajak yang akhirnya menjadi ajang pertentangan dan penyelamatan para anggota Setgab koalisi.
Contoh lainnya, sering kita dengar banyak kepala daerah yang dijuluki “bajing loncat”, terutama ke parpol berkuasa. Di awal mereka minta dukungan dari parpol X tapi setelah berkuasa, atau menjelang masa pemilukada yang baru, mereka langsung berpindah warna ke parpol Y dengan dalih selama ini mereka bukan anggota parpol. Ini masih bisa mereka ucapkan seakan saat awal pencalonan mereka tidak pernah bertemu dan meminta dukungan dari parpol X. Jadi para kepala daerah “bajing loncat” tidak hanya ingkar janji kepada masyarakat pemilih tapi juga kepada parpol pendukung di awal.
Ini pun tergolong praktik politik transaksional karena mereka memperdagangkan kekuasaan mereka. Terkenalnya alasan mereka loncat adalah untuk mengamankan dukungan dari parpol penguasa agar tidak terjerat kasus hukum, atau untuk merasa lebih aman mengamankan posisi di pemilukada berikutnya. Politik transaksional di tingkat pusat atau daerah akhirnya mengabaikan pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang baik, tapi lebih fokus pada pengamanan kekuasaan.
Di bidang ekonomi juga lebih berlaku hukum pasar saat ini. Tepatnya teori “the invisible hand of the market” atau pasar bebas. Bea masuk beras sempat dihapus (nol persen) dengan dalih untuk mengamankan harga walaupun sebenarnya produksi kita surplus. Anehnya, pembebasan bea masuk beras ini juga diberlakukan pada beras kelas premium yang tidak diperhitungkan dalam penentuan harga beras. BBM subsidi kemudian malah disalahkan karena diaggap menjadi beban anggaran negara walaupun UUD kita menyebutkan kekayaan alam dimanfaatkan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. Padahal masalah sebenarnya adalah pemerintah tidak berinvestasi pada kilang minyak baru dan bukan pada harga minyak dunia yang meningkat.
Perjanjian pasar bebas ASEAN-Cina turut menuai banyak keluhan dari pengusaha dalam negeri. Terutama karena disetujui tanpa memerhatikan kurangnya persiapan infrastruktur dan kemampuan produsen dalam negeri. Akibatnya de-industrialisasi mengancam Indonesia dan kesempatan kerja berkurang. Para pengusaha dalam negeri seperti anak burung yang dipaksa oleh induknya untuk belajar terbang sendiri. Bila gagal, ya dibiarkan jatuh dan mati.
Apa yang terjadi dengan politik dan ekonomi Indonesia saat ini menunjukkan bahwa negara ini, dan para pelakunya, lebih menganut ideologi liberalisme. Di liberalisme yang ditekankan adalah maksimalisasi peran individu dalam kompetisi yang bebas dan peran negara yang seminim mungkin. Analogi yang sederhana adalah berlakunya hukum rimba di Indonesia, yaitu yang kuat mengalahkan yang lemah. Ini penyakit yang diderita Indonesia.
Penyakit ini bukannya tanpa obat karena Indonesia memiliki ideologi Pancasila. Bila kita semua mengacu ke Pancasila maka segala kekacauan yang ada saat ini dapat terhindari. Bila kita mengacu ke sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa” maka tidak akan ada egoisme agama. Bila kita mengacu ke sila kedua, “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab” maka tidak akan ada perilaku membeda-bedakan sesama warga negara Indonesia. Bila kita mengacu ke sila ketiga, “Persatuan Indonesia” maka tidak akan dibiarkan gerakan-gerakan makar atau bibitnya. Bila kita mengacu ke sila keempat, “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan” maka tidak akan ada pengambilan keputusan oleh segelintir penguasa. Bila kita mengacu ke sila kelima, “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” maka tidak akan ada perilaku ekonomi yang mengarah kepada ketimpangan sosial.
Sayangnya setelah pengalaman pahit di masa Orde Baru, Pancasila hanya menjadi seperti jargon. Terlebih lagi di masa sekarang yang masyarakat cenderung lebih pragmatis maka Pancasila makin ditinggalkan ketika tidak bisa dirasakan manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari. Apa yang terjadi bukan salah Pancasila, atau bukan berarti Pancasila tidak bermanfaat. Kuncinya ada di pelaku. Beberapa ahli sudah mengemukakan bahwa Pancasila perlu aktualisasi atau relevansi dengan keadaan jaman atau menjadi ideologi terbuka. Ini menunjukkan bahwa Pancasila memerlukan aktor yang menyuburkannya. Sama seperti liberalisme yang subur karena banyak aktornya.
Tidak sulit untuk menerapkan Pancasila. Bila kebanyakan dari kita bisa menerapkan liberalisme mengapa tidak bisa menerapkan Pancasila? Permasalahannya apakah kita mau atau tidak? Maukah eksekutif dan legislatif menjadikan Pancasila sebagai tolok ukur penyelenggaraan negara? Contoh dalam privatisasi BUMN, pertimbangannya apakah lebih kepada maksimalisasi BUMN untuk pelayanan publik atau pengurangan beban anggaran negara? Contoh lain dalam BBM subsidi, apakah lebih mempertimbangkan manfaat untuk rakyat atau tunduk kepada harga minyak dunia?
Maukah kita dalam kehidupan sehari-hari menerapkan Pancasila? Contoh dalam hal persatuan, apakah kita mau mengesampingkan kepentingan kelompok untuk kepentingan negara? Contoh lain dalam musyawarah, apakah kita mau mengalah kepada keputusan bersama dan melaksanakannya.
Indonesia butuh Pancasila karena tanpanya maka tidak akan ada pemerataan kesejahteraan dan keadilan sosial. Masyarakat pun akan makin memikirkan dirinya masing-masing tanpa memperhatikan kepentingan warga negara lain. Tanpa Pancasila maka Indonesia akan rentan untuk pecah dan hanya menjadi bagian dari buku sejarah.
No comments:
Post a Comment