“Nanti kamu
harus jadi orang yang berguna untuk bangsa dan negara”…itulah salah satu
pesan dari almarhum ayah saya. Seorang politisi senior yang membesarkan
anak-anaknya dengan harapan kami dapat menjadi orang berguna. Sedari kecil kami
selalu diberi wejangan, pencerahan dan didorong agar berhasil di bidang
pendidikan. Dari tiga bersaudara, akhirnya saya yang terjun dan mendalami dunia
politik, sembari terus mengingat pesan yang yang almarhum ayah pernah berikan.
Saya yakin ada banyak anak politisi lain yang
mengalami hal serupa. Ada yang akhirnya memilih jalur lain, ada yang memutuskan
untuk masuk jalur politik. Ibarat pepatah asing “the apple does not fall far from the tree”, itulah anak-anak
politisi yang kemudian terlibat dalam bidang politik.
Sayangnya di masa sekarang anak politisi seakan
mendapat kutukan massal dengan dilabeli istilah “politik dinasti”. Saya sebut
‘kutukan’ karena kami para anak politisi dipandang sebagai individu-individu
tanpa dedikasi, tanpa kemampuan, dan bahwa kesuksesan kami di masa kini hanya
mengandalkan prestasi orang tua kami, tanpa ada prestasi dari diri kami sendiri.
Tapi apakah kritikan-kritikan itu semua sudah tepat
sasaran? Salah kami-kah dikandung bunda dan dibesarkan di keluarga politisi?
Kami tidak meminta dilahirkan sebagai anak politisi. Tapi apakah salah kalau
kami akhirnya memutuskan ingin mendalami dunia politik?
Memang benar banyak dari anak politisi seperti saya
yang mendapat ‘kelebihan’ dalam bentuk pendidikan serta sedari kecil sudah
melihat langsung cara politik bekerja dari orangtua kami. Saya sendiri yang
datang dari keluarga kelas menengah sangat bersyukur sebab sejak kecil almarhum
ayah selalu menekankan pendidikan yang baik. Kala teman-teman sedang bermain,
saya di-‘wajibkan’ almarhum untuk belajar bahasa Inggris. Saya dihukum almarhum
ketika tidak hafal Pancasila. Sampai akhirnya saya berhasil lulus UMPTN dan
dengan rejeki almarhum saya disekolahkan di luar negeri, walaupun keuangan kami
tidak melimpah. Almarhum juga mengajak saya ke beberapa acara politiknya saat
kecil. Ketika saya duduk di bangku kuliah, beliau mengajak saya ke beberapa
rapat dan diskusi politik yang dihadirinya. Boleh dikatakan akhirnya muncul
panggilan dari diri saya sendiri untuk meneruskan jejak beliau sebagai
politisi.
Sekali lagi, saya yakin banyak anak politisi yang
memiliki cerita serupa. Kami memang mendapat ‘kelebihan’ dari segi pendidikan
dan pengalaman politik sejak kecil. Akan tetapi saya rasa itu bukan berarti
kami merupakan individu yang hanya bisa menumpang nama orangtua. Malah
sebenarnya nama orangtua sebagai politisi menjadi tanggungan kami yang terjun
di bidang politik. “Jaga nama baik papa”
seperti itu kata ibu saya. Sebab orang-orang pasti akan membandingkan kami sang
anak dengan sang orangtua, terlepas dari apakah kami memiliki ciri khas politik
sendiri.
Bekal yang sudah diberikan oleh orangtua memang
membantu kami para anak politisi untuk mengetuk pintu dunia politik, tapi kami
butuh kemampuan sendiri untuk bisa membuka pintu dan melangkah maju. Dan bila
objektif dipertimbangkan, setiap orangtua pasti memberikan bekal kepada
anaknya. Bekal pendidikan, bekal nilai-nilai sosial, dan bekal-bekal lainnya.
Semua diberikan orangtua ke sang anak dengan harapan anaknya lebih berhasil
daripada orangtuanya. Dan menurut saya harapan ini ada di semua hati orangtua,
terlepas apapun profesinya.
Sayangnya bagi anak politisi, bekal dari orangtua
kami yang diberikan dengan harapan sama seperti kebanyakan orangtua lainnya
yaitu guna meringankan kehidupan masa depan anak-anaknya, malah menjadi beban
tambahan kami di masa sekarang. Dengan label istilah “politik dinasti” bekal
orangtua kami dianggap sebagai sebuah legitimasi bahwa kami tidak memiliki
keahlian sendiri. Bahwa semua yang dimiliki anak-anak politisi hanya karena
‘diberikan’ orangtua kami. Kalaupun kami para anak politisi berhasil meraih
sebuah prestasi karena kemampuan kami sendiri, cibiran dan keraguan orang tampaknya
akan selalu ada.
Tapi pemikiran negatif banyak orang tidak akan
menghalangi saya untuk menjadi orang yang berguna untuk bangsa dan negara
melalui bidang politik. Bagi saya tidak ada salahnya anak politisi menjadi
politisi, tidak ada salahnya anak guru menjadi guru, tidak ada salahnya anak
dokter menjadi dokter dan seterusnya. Yang salah mungkin bila anak politisi
tidak memiliki kemampuan politik tapi memaksakan diri menjadi politisi tanpa
ada keinginan untuk mengembangkan kemampuan politiknya sendiri. Sama halnya
bila anak seorang montir tidak mengerti mesin tapi memaksakan diri menjadi
montir tanpa ingin mengasah kemampuannya sendiri.
Jadi menurut saya inti perdebatan dari ‘dinasti
politik’ harusnya bukan soal biologis tapi soal kemampuan. Bila anak seorang
politisi memang memiliki keahlian/kemampuan, serta dedikasi, tidak ada salahnya
dia menyumbangkan kemampuannya untuk kepentingan bangsa dan negara. Bila ada
dedikasi dan juga dengan modal ‘bekal’ orangtua seperti pendidikan dan
pengetahuan, seorang anak politisi dapat menggunakan kedua modal tersebut dan
mengembangkannya untuk memunculkan keahliannya sendiri.
Saya sendiri merasa sangat terbantu dengan ‘modal
awal’ dari almarhum ayah berupa pendidikan dan pengetahuan, serta nama harum
beliau untuk saya terjun pertama di dunia politik. Akan tetapi saya sekarang
menyusuri jalan saya sendiri dan dengan kemampuan sendiri guna terus
mengembangkan kemampuan agar bisa menjadi orang yang berguna bagi bangsa dan
negara. Saya tidak akan bertahan lama di dunia politik bila saya hanya mengandalkan
nama harum almarhum ayah tanpa ada kemampuan saya sendiri. Keahlian untuk
berdiskusi, mengambil keputusan, dan pergerakan politik, hanyalah beberapa
keahlian politik yang harus saya pelajari/alami sendiri.
Memang angin akan terus berhembus. Dalam arti saat
ini bagi anak politisi seperti saya yang mendalami dunia politik akan terus menghadapi
keadaan seakan salah bunda kami mengandung. Bahwa akan terus ada orang yang
meragukan dan mencibir keberhasilan kami dan menyimpulkan bahwa itu semua hanya
karena kami secara biologis keturunan keluarga politisi, dan kami tidak
memiliki kemampuan sendiri.
Pro dan kontra sudah menjadi sebuah keniscayaan,
termasuk dalam topik “keturunan politisi yang menjadi politisi”. Dalam hal ini
menurut saya jawabannya bukan sekedar “waktu yang akan membuktikan” tapi juga
mencakup “berbuat kebaikan tanpa pamrih”. Sebab niat awal saya untuk terjun
dalam politik bukanlah mendapat pamrih atau pujian dari orang, melainkan untuk
menjadi orang yang berguna bagi bangsa dan negara seperti pesan almarhum ayah.
No comments:
Post a Comment