Demonstrasi di Brasil tengah berlangsung marak di
tengah berlangsungnya Piala Konfederasi 2013 dan persiapan Piala Dunia Brasil
2014. Uniknya Presiden Brasil Dilma Rousseff mengatakan apa yang sedang terjadi
di negaranya sebagai demonstrasi dari kelas menengah yang menuntut taraf
kehidupan yang lebih tinggi. Rakyat Brasil menyatakan sudah muak dengan
korupsi, tingginya biaya transportasi umum, dan buruknya layanan kesehatan.
Demonstrasi kelas menengah Brasil tersebut menarik
karena seakan mematahkan pendapat bahwa kelas menengah dan mapan ekonomi
cenderung memilih kestabilan dibanding gunjang ganjing yang dapat memengaruhi
kondisi ekonomi mereka. Walaupun ada juga pendapat di International Herald Tribune edisi 22-23 Juni 2013 yang mengatakan
bahwa rakyat Brasil turun ke jalan menuntut perubahan karena ada stagnasi atas
taraf hidup mereka selama ini yang terkenal dengan pertumbuhan ekonomi yang
kuat.
Apa yang terjadi di Brasil serupa dengan peristiwa di
Amerika Serikat (AS) yang mayoritas kelas menengah-nya turun ke jalan memprotes
Wall Street dan menuntut perubahan. Memang ada anggapan gerakan kelas menengah
AS menuntut perubahan lebih didasarkan pada ketakutan mereka ‘di-proletarkan’
dengan kondisi yang ada (Zizek, 2012). Akan tetapi bisa dipahami pula bahwa
kelas menengah AS merasa frustasi karena mereka terjebak di status quo begitu lama tanpa terlihat harapan
dapat naik kelas menjadi kelas atas secara ekonomi.
Di Indonesia sendiri sudah terkenal narasi Rise of the Indonesian middle class,
atau kebangkitan kelas menengah Indonesia. Sebuah mantra yang telah memukau
banyak orang dari dalam dan luar negeri. Para pengamat dan media terpikat untuk
mengupas banyak aspek tentang kelompok masyarakat ini, mulai dari perilaku konsumsi
hingga interaksi sosial mereka.
Memang menarik mempelajari perilaku dari kelas
menengah Indonesia yang jumlahnya mencapai mayoritas 134 juta (versi Asia
Development Bank) atau 50 juta (versi McKinsey Global Institute). Berdasarkan
jumlahnya saja sudah banyak perusahaan multinasional yang menyandarkan
kesuksesan investasinya di negeri ini pada keberadaan kelas menengah Indonesia,
yang diperkirakan atau diharapkan akan terus berkembang. Oleh karena status
mayoritas tersebut pula banyak pihak yang berharap agar kelas menengah
Indonesia dapat mendorong perubahan sosial politik yang signifikan. Seperti
yang terjadi di Brasil dengan demonstrasi kelas menengahnya.
Namun lain Brasil, lain Indonesia. Sebab tampaknya kelas
menengah Indonesia tidak (belum) memaksimalkan jumlah dan posisi strategisnya untuk
mendorong perubahan (atau lebih tepatnya pemerataan kesejahteraan) di negeri
ini. Contohnya gerakan demonstrasi menentang kenaikan BBM subsidi baru-baru ini
juga masih banyak dilakukan oleh mahasiswa dan berbagai organisasi pergerakan,
bukan oleh kelompok kelas menengah. Sampai beberapa waktu lalu salah satu
redaksi The Jakarta Post menyatakan
bila kelas menengah Indonesia tidak bergerak maka rakyat miskin di negara ini akan
terus terjebak dalam kemiskinan.
Sebenarnya harapan kepada kelas menengah Indonesia
untuk menggerakkan/memperjuangkan perubahan politik dan sosial sudah
dikumandangkan sejak tahun 1986 dalam diskusi tentang politik kelas menengah
Indonesia di Monash University, Australia (Tanter & Young, 1996). Namun
kala itu para akademisi masih terjebak dalam proses pendefinisian kelas
menengah. Meskipun definisi yang dominan sekarang dari perspektif ekonomi, tapi
bisa disebutkan bahwa di masa milenial di Indonesia, agent of change yang utama adalah kelas menengah.
Sebagai agent
of change di bidang ekonomi sudah hampir dipastikan, namun di bidang
politik belum tentu. Sejak awal masih kuat anggapan bahwa kelas menengah memiliki
kecenderungan sikap politik yang berpihak terutama pada kepentingan material
mereka sendiri (Heryanto, 1996). Walaupun sebenarnya pemahaman tersebut
bukanlah rumus matematika yang mutlak, melainkan lebih sebagai produk zeitgeist (semangat jaman). Contohnya bila
kita membuka lembaran sejarah Indonesia masa penjajahan, dorongan atau gerakan
untuk perubahan justru banyak dimotori oleh kelas menengah, yaitu mereka yang
sudah tidak pusing memenuhi kebutuhan primer hidup serta dapat mengecap
pendidikan tinggi. Dari situ bisa diasumsikan kelas menengah Indonesia, pada
jaman penjajahan, memperjuangkan perubahan/kemerdekaan untuk kepentingan
bersama lintas kelas sosial dan bukan untuk kepentingan pribadi. Berbeda dengan
anggapan masa kini.
Selain contoh dari Indonesia di masa kemerdekaan
dengan apa yang terjadi di Brasil dan Amerika Serikat makin menguatkan asumsi
bahwa zeitgeist berperan penting
dalam menganalisa aktivisime sosial politik kelas menengah. Di Indonesia
sendiri sekarang ini sudah banyak kasus korupsi yang tak kunjung selesai
diberantas ataupun dicegah. Biaya transportasi umum, yang kualitasnya masih
rendah, sebentar lagi akan naik dengan kenaikan harga BBM subsidi. Harga pangan
sudah sering naik hingga sulit dijangkau. Akan tetapi masih belum bisa
diperkirakan apakah kelas menengah Indonesia akan tergerak untuk meminta
perubahan.
Memang ada aktivisme di jejaring sosial Indonesia
yang bisa kita asumsikan digerakkan oleh kelas menengah. Namun tampaknya yang
terjadi dunia maya belum banyak memengaruhi kebijakan pemerintah di dunia
nyata.
Walaupun harapan besar untuk menggerakkan perubahan
ada di pundak kelas menengah Indonesia tapi baiknya kita jangan jadikan
perjuangan untuk Indonesia yang sejahtera sebagai perjuangan satu kelompok
masyarakat saja. Kita sudah lama mengenal semangat “bersatu kita teguh,
bercerai kita runtuh”. Bahkan intisari dari Pancasila, ideologi bangsa
Indonesia sendiri, kata Bung Karno adalah “gotong royong”. Sebab interaksi dan
ketergantungan satu kelompok sosial dengan kelompok sosial yang lain adalah
sebuah keniscayaan. Baik secara vertikal maupun horizontal, kelas menengah
Indonesia tidak bisa berdiri sendiri dan sebaiknya berdiri bersama-sama
kelompok masyarakat lainnya untuk menghadirkan apa yang terbaik bagi
kepentingan bersama.
Ada kelompok yang perjuangannya dilakukan melalui
teriakan di jalan, ada yang melalui gerakan aktivisme sosial seperti “Indonesia
Mengajar”, ada yang melalui cabang institusi negara di eksekutif, legislatif
dan yudikatif. Walaupun ada berbagai bentuk perjuangan, yang penting kesemuanya
harus menjadi kesatuan nafas bila ingin perubahan nyata di Indonesia.
Namun memang dalam sebuah negara, perubahan nyata
dapat hadir bila ada perubahan kebijakan dari eksekutif dan legislatif. Sebab
institusi politik modern tersebut yang bisa menetapkan sistem politik, ekonomi,
sosial formal yang menjadi wadah Indonesia untuk berkembang di masa kini dan
masa depan. Suka tidak suka, mau tidak mau, memang institusi politik yang
mengesahkan sistem kehidupan sebuah negara (Acemoglu & Robinson, 2012).
Sekarang setiap elemen bangsa Indonesia harus
memutuskan, apakah kita ingin seperti Brasil yang gerakan perubahannya datang
secara perlahan ibarat “batu karang bila diteteskan air terus menerus akan
pecah juga”, ataukah kita ingin perubahan datang sekarang juga dan Indonesia
yang sejahtera terwujud secara nyata.
No comments:
Post a Comment