April 16, 2009

Menyambut Era Baru Partai Politik Di Indonesia

Beberapa hasil quick count Pemilihan Umum (pemilu) legislatif 2009 menunjukkan Partai Demokrat unggul dalam perolehan suara dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan) dan Golongan Karya (Golkar). Demokrat diperkirakan akan meraih sekitar 20% suara sedangkan PDI Perjuangan dan Golkar sekitar 14% suara masing-masing. Ini tentu sebuah hasil yang cukup mengejutkan karena sebelumnya PDI Perjuangan dan Golkar dikenal memiliki mesin partai yang jauh lebih kuat dibandingkan Demokrat. Perkiraan hasil quick count tersebut seakan pertanda bahwa sudah saatnya partai politik (parpol) di Indonesia harus melakukan introspeksi diri dan melakukan perubahan agar dapat mengikuti jaman.

Perubahan sudah mulai terlihat dengan diadopsinya metode kampanye politik modern oleh para parpol selama masa kampanye pemilu 2009. Mulai dari pencitraan Partai Demokrat yang menggunakan kesuksesan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), adaptasi penggunaan tehnik Multi Level Marketing (MLM) oleh Partai Matahari Bangsa (PMB), sampai penggunaan tenaga sukarelawan grass root di luar struktur partai saat berkampanye oleh beberapa calon anggota legislatif (caleg). Namun perubahan ini baru sebatas cara menarik pemilih dan belum memperlihatkan perubahan dalam fungsi parpol di tengah masyarakat.

Fungsi sebuah parpol dapat kita temukan dari ciri-ciri sebuah parpol. Secara tradisional ada tiga ciri-ciri parpol. Pertama, memegang peranan sentral dalam kegiatan politik sebuah negara. Kedua, menjadi wadah penyaluran aspirasi politik serta kepentingan anggotanya dan masyarakat dalam pelaksanaan negara. Ketiga, menerjemahkan ideologi yang diusungnya agar menjadi kebijakan pemerintahan.

Sedangkan menurut Sutradara Gintings (2006) parpol modern paling tidak memiliki lima ciri-ciri. Pertama, platform politik strategis atau ideologi kerja yang rasional yang menjadi pengikat anggotanya atau orang yang ingin menjadi anggotanya. Kedua, dapat menjadi wadah kaderisasi kepemimpinan bangsa di berbagai tingkatan dan sektor. Ketiga, harus dapat hidup dari anggotanya sendiri dalam skala luas dan tidak hidup dari satu atau dua orang saja, atau sekelompok orang yang menjadi sponsor utama. Keempat, harus mampu melakukan komunikasi dan sosialisasi politik untuk mendidik rakyat mengenai politik. Kelima, pemisahan fungsi politik dan administratif dalam parpol untuk menghindari terjadinya kepengurusan parpol yang otoriter.

Walaupun sudah ada yang mengajukan ciri-ciri parpol modern, bukan berarti kita sebaiknya secara penuh menepiskan ciri-ciri tradisional. Bila digabungkan maka jelas terlihat bahwa ada dua cara parpol dapat memberikan sumbangsih bagi rakyat. Pertama, melalui kinerjanya di pemerintahan (ciri tradisional). Kedua, melalui perannya meningkatkan kemampuan anggota dan rakyat, baik saat dalam posisi berkuasa ataupun tidak (ciri modern).

Terlebih lagi harus diperhatikan bahwa kedua cara tersebut saling berkaitan dan tidak berdiri sendiri. Tentu kinerja yang baik dari parpol dalam pemerintahan akan berakar pada kemampuannya untuk melakukan kaderisasi dan menempatkan kadernya yang berkemampuan dan berkualitas di pemerintahan. Orang pun akan tertarik untuk bergabung dengan sebuah parpol bila parpol tersebut dapat secara nyata menunjukkan kelebihan atau keberhasilan ideologinya dalam pemerintahan.Masyarakat juga akan merasa sebuah parpol berguna bila parpol tersebut dapat memberikan pendidikan politik, yang berarti memberikan pendidikan hak dan kewajiban kepada warga negara. Hal penting di sini adalah semuanya berujung pada penguatan demokrasi serta kesejahteraan rakyat.

Khusus untuk Indonesia, pemahaman akan ciri dan tugas parpol menjadi sangat penting untuk menghindari bertahannya keadaan ultra parpol (parpol dalam jumlah yang sangat banyak) seperti saat ini. Selama ini kebanyakan parpol baru hanya bersandar pada argumentasi kebebasan melakukan kegiatan politik. Begitu banyak yang berteriak “ketidak adilan” atau “tindakan represi dari parpol besar” saat peraturan Parliamentary Treshold diberlakukan. Dulu saat peraturan Electoral Treshold diberlakukan yang terjadi adalah pencarian celah dalam hukum. Beberapa parpol yang tidak lulus Electoral Treshold, menambahkan satu buah kata di nama parpol lalu mengatakan secara hukum mereka adalah parpol baru dan bisa mengikuti pemilu. Saat di pemilu berikutnya mereka kembali kalah, mereka kembali mengubah nama dengan menghilangkan satu kata yang dulu pernah mereka tambahkan, lalu kembali mengatakan secara hukum mereka adalah parpol baru dan dapat mengikuti pemilu. Peraturan yang dibuat untuk menyederhanakan sistem kepartaian agar lembaga legislatif dapat berjalan secara efektif menjadi tidak berguna karena ketidak pahaman atas fungsi parpol dalam sebuah negara.

Perilaku seperti itu menimbulkan persepsi di tengah masyarakat bahwa parpol-parpol hanyalah kelompok-kelompok kekuasaan yang pekerjaan utamanya adalah berebut kekuasaan. Tidak sedikit juga orang yang mengasosiasikan parpol dengan gudang uang. Sederhananya adalah ada pandangan bahwa bila ada kegiatan parpol maka akan ada uang yang dibagikan. Saat pandangan seperti ini, serta pandangan negatif lainnya, terus bertahan maka yang terjadi adalah hambatan atas proses pendidikan politik atau pendidikan ideologi.

Bila ini berlanjut tentu akan berdampak pada kinerja parpol. Bukan tidak mungkin anggota parpol yang maju ke badan legislatif atau eksekutif nantinya adalah kader yang hanya memikirkan tentang kekuasaan dan materi. Kemungkinan lain adalah gedung senayan dan istana negara dapat dihuni oleh individu-individu yang populer dan dekat dengan rakyat, tapi tidak memiliki kemampuan manajerial atau tata kenegaraan. Tentu percuma bila seseorang pandai berorasi atau beretorika politik namun tidak bisa mengubahnya menjadi sebuah produk hukum. Sistem yang salah adalah sistem yang melahirkan tokoh politik yang tidak pernah mengeluarkan keringat politik.

Untuk mengubah keadaan tersebut maka setelah pemilu 2009 berakhir, tiap parpol harus menelaah kembali visi dan misi mereka masing-masing. Pola pikirnya bukan bagaimana mempersiapkan diri agar menang di pemilu berikutnya, tetapi bagaimana meningkatkan kinerja internal dan eksternal mereka selama lima tahun ke depan. Ini dilakukan dengan pemahaman yang menyeluruh tentang ciri serta tugas parpol dalam sebuah negara. Untuk itu diperlukan perencanaan dan pelaksanaan yang strategis tapi tetap membumi. Hasil yang diharapkan adalah supaya parpol dapat menghasilkan pemimpin politik dan kebijakan negara yang berkualitas, serta membuktikan manfaat keberadaannya bagi rakyat.

No comments:

Post a Comment