October 05, 2010

Ragnarok: Siklus Persaingan Pemerintah dan Swasta Serta Munculnya Harapan Baru

Dalam mitologi Norwegia dikenal peristiwa Ragnarok, yaitu berakhirnya dunia karena pertempuran para dewa, raksasa, dan monster. Diceritakan bahwa setelah dunia berakhir maka akan lahir dunia baru yang lebih baik. Para dewa yang gugur dalam Ragnarok akan dilahirkan kembali dan kehidupan di dunia akan berulang dari awal. Salah satu versi cerita menyebutkan bahwa Ragnarok ini adalah peristiwa yang akan berulang terus-menerus (siklus). Jadi dunia tidak pernah benar-benar berakhir, hanya dilahirkan kembali.

Membaca tentang siklus Ragnarok mengingatkan kepada persaingan atau perebutan kekuasaan antara pemerintah dan swasta. Keduanya terus ‘berperang’ untuk memegang kekuasaan atas ekonomi sejak munculnya kapitalisme. Bila di mitologi Norwegia peristiwa penentu perubahan adalah Ragnarok maka di masa modern ini peristiwa penentunya adalah krisis ekonomi.

August 02, 2010

Keterpilihan dan Kemampuan

Akhir-akhir ini kita banyak melihat selebritas yang berputar haluan menjadi calon dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada). Modal utama para selebritas itu adalah kenyataan bahwa mereka merupakan tokoh-tokoh populer di mata masyarakat. Logikanya kepopuleran seorang selebriti akan bergerak sebanding dengan keterpilihannya sebagai calon. Bila kita berorientasi kepada kedudukan dan kekuasaan, penghitungan keterpilihan saja mungkin cukup. Namun saat kita membicarakan tentang tata kelola negara maka kemampuan seorang calon juga menjadi faktor penting.

Maksud dari keterpilihan adalah tingkat daya tarik seorang calon untuk dipilih. Saat seseorang menjadi calon dalam suatu pemilihan, hal pertama yang umumnya diukur adalah tingkat keterpilihannya. Ini yang umumnya dilakukan oleh lembaga-lembaga survei dan dipaparkan hasilnya untuk menjadi bahan diskusi di media dan masyarakat. Pengukuran tingkat keterpilihan seorang calon juga menjadi bekal untuk penyusunan strategi kampanye pemenangan pemilihan. Hal ini sangat umum dilakukan di Amerika Serikat (A.S) yang sudah memiliki industri kampanye pemilihan yang matang.

June 08, 2010

Pepesan Kosong Politik Indonesia

Istilah pepesan kosong sering kali digunakan oleh orang saat membahas secara negatif sebuah pernyataan yang tidak didukung oleh tindakan nyata. Berkaitan dengan itu, di dunia komunikasi dikenal istilah Pesan Pokok yaitu pesan utama yang ingin kita sampaikan kepada pemangku kepentingan. Pesan Pokok ini selalu dikembangkan dari dan disertai dengan fakta-fakta yang ada. Bila sebuah Pesan Pokok disampaikan tanpa fakta maka Pesan Pokok tersebut akan kehilangan makna, karena akhirnya akan dianggap hanya sekedar pepesan kosong. Inilah yang terjadi saat ini dengan politik Indonesia, saat begitu banyak yang disampaikan atau diteriakkan tapi tanpa kenyataan di belakangnya.

Tentu kita merasa bangga saat Presiden Indonesia mengatakan bahwa beliau ingin menjadikan negara ini sebagai negara terdepan dalam mengurangi emisi CO2. Namun komitmen tersebut menjadi pepesan kosong saat perusahaan diijinkan untuk beroperasi di daerah hutan lindung. Banyak dari kita memaklumi penjelasan pemerintah bahwa subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) harus dikurangi karena memberatkan keuangan negara. Tapi ini menjadi pepesan kosong saat diketahui bahwa porsi Anggaran Belanja Aparatur lebih tinggi dari Anggaran Belanja Publik.

March 17, 2010

Demokrasi Milik Siapa: Kembalinya Demos Dalam Demokrasi

Banyak artikel tentang demokrasi yang memulai dengan pembahasan akar kata demos dan kratos yang berarti kekuasaan rakyat. Pengalaman bangsa Indonesia selama Orde Baru sangatlah jauh dari kata demokrasi. Saat itu kemajuan ekonomi dibayar dengan kebisuan kritik dan tumpulnya pemikiran kritis, di bawah kepemimpinan oligarki. Setelah tiga kali Pemilihan Umum yang ‘bebas’ sejak 1998, sekarang ini kita melihat munculnya fenomena baru saat suara rakyat mengalahkan suara kekuasaan struktural. Seperti yang terjadi pada kasus Prita, Bibit-Chandra, dan Bank Century. Ketiganya merupakan contoh ideal kembalinya demos dalam kata demokrasi.

Selama masa Orde Baru, bangsa Indonesia mengenal demokrasi kopong. Dari luar tampaknya baik namun isinya tidak ada. Saat itu Indonesia menyatakan diri sebagai penganut demokrasi tapi yang terjadi adalah oligarki menjurus diktatorial. Pembangunan ekonomi kita yang dikatakan maju diselimuti oleh kestabilan berdasarkan ketakutan. Jangankan menyuarakan perbedaan atau kritik politik, berpikir berbeda pun kita dihambat secara sistematis melalui sistem pendidikan dan penyuluhan.

January 30, 2010

Dari Tahun Pencitraan ke Tahun Produktivitas

Di tahun 2009, masyarakat Indonesia telah menikmati tontonan pencitraan partai dan tokoh politik yang saling bersaing memperoleh dukungan untuk memimpin negara ini. Sekarang setelah dimulainya tahun 2010 dan berakhirnya masa ‘bulan madu’ 100 hari pemerintahan baru, saatnya mereka menjadi produktif dan mulai memenuhi janji yang dibuat semasa Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden. Ini berarti mereka tidak bisa lagi bersandar hanya kepada aksi pencitraan tapi harus mengimbanginya dengan pekerjaan nyata yang dapat menyelesaikan permasalahan bangsa, negara, dan rakyat.

Teori pemasaran politik sendiri sudah menekankan pentingnya kinerja sebuah partai politik, selain kegiatan pemasaran atau pencitraannya. Lees-Marshment (2001) melalui teori Market-Oriented Party (MOP)-nya mengutarakan bahwa setelah masa pemilihan berakhir, partai politik harus dapat memenuhi janji atau produk politik yang sudah ditawarkan kepada masyarakat atau pemilih. Begitu juga Henneberg dan Eghbalian (2002) yang membahas tentang cara meningkatkan perolehan suara dengan memberikan kepuasan kepada pemilih atau masyarakat. Pertanyaan yang mengkhawatirkan adalah bagaimana bila kepuasan masyarakat diperoleh melalui pencitraan dan bukannya hasil nyata?