November 20, 2012

Migrate Our Ideas, Not Our People


This year we saw the first Congress of Indonesian Diaspora held in the US, which sparks excitement on how Indonesian diaspora can have a role in a variant of Indonesia’s soft power diplomacy. As President Susilo Bambang Yudhoyono expressed in his remarks at the congress, he wishes Indonesian diaspora to be their best and “…contribute for the future of our nation”. A positive wish that we appreciate but let’s not forget the etymology of the word “diaspora” which also implies that people from one country are dispersed to others as a form of exile, or to find better life as they can’t find one in their motherland.

According to foreign ministry data currently there are around 5.8 million Indonesian diaspora. However Indonesia’s current diaspora is a combination of this country’s history as a former subject of colonization, racial oppression, and lack of appreciation to technical skills and knowledge, as well as the lack of opportunities to develop and grow.

November 13, 2012

Menanti Kelas Kreatif Indonesia

Kebangkitan kelas menengah Indonesia sudah menjadi narasi yang dikenal dan diakui oleh berbagai pihak di dunia. Pemerintah menyebutkan bahwa kelas menengah ini adalah salah satu penggerak utama roda ekonomi negeri dengan konsumsinya yang menyumbang 70 persen dari pertumbuhan ekonomi. Ditambah lagi dengan jumlah penduduk usia produktif di Indonesia yang pada periode 2010-2035 diperkirakan akan menjadi bonus demografi yang makin menguatkan ekonomi Indonesia. Para pelaku bisnis asing melihat kelas menengah Indonesia sebagai potensi yang menggiurkan untuk melakukan bisnis di Indonesia. Mulai dari produsen elektronik, produk FMCG, hingga bahan bakar minyak, semuanya datang ke Indonesia guna mendapat bagian keuntungan dari ekonomi terbesar di Asia Tenggara.

Namun seperti yang sudah ditengarai para akademisi dan juga pemerintah, peningkatan jumlah sumber daya manusia (SDM) dalam bentuk kalangan menengah dan usia produktif haruslah dijaga dengan peningkatan kualitas kelompok tersebut. Bila tidak maka yang terjadi kita hanya akan menjadi “tamu di negeri sendiri” atau bahkan lebih parah yaitu “budak di negeri sendiri”. Sebab tanpa peningkatan kualitas maka kita sebatas menjadi kumpulan banyak orang yang dipandang hanya bisa bekerja di posisi yang rendah. Contoh nyatanya adalah penolakan belakangan ini terhadap keberadaan dan perlakuan ‘anak emas’ yang diterima pekerja asing di Indosat. Terlebih lagi 77.300 tenaga kerja asing (TKA) di Indonesia mendapatkan upah serta tunjangan yang lebih baik dari kebanyakan pekerja Indonesia, belum lagi posisi strategis yang ditempati para TKA tersebut.

November 02, 2012

Bukan Indonesia KTP


Di atas kertas konflik Lampung Selatan menjadi satu tambahan angka bagi 89 konflik sosial yang telah terjadi di Indonesia dari Januari hingga Agustus 2012 (data Kemdagri). Namun di atas semangat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) konflik Lampung Selatan adalah satu noda hitam lagi setelah adanya 89 noda hitam konflik sosial yang tersebar di Nusantara sepanjang tahun. Noda hitam peristiwa Lampung Selatan pun semakin membesar dengan kegagalan upaya mendamaikan desa-desa yang bertikai (Kompas, 1 November 2012). Inilah kenyataan sosial Indonesia yang mengkhawatirkan dan segera membutuhkan solusi.

Solusi yang kita butuhkan sebenarnya tidak perlu dicari lagi. Sebab sudah ada tertanam sebagai wujud kearifan nasional kebangsaan Indonesia yaitu konsep Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tapi tetap satu jua. Bhinneka Tunggal Ika telah ditempatkan sebagai satu dari empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara yang kita harapkan menjadi pilar kokoh menopang keberlangsungan Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara. Berbagai konflik sosial yang terjadi, termasuk gagalnya upaya pendamaian di Lampung Selatan, menunjukkan kepada kita bahwa walaupun Bhinneka Tunggal Ika sudah ditanamkan dalam benak rakyat Indonesia tapi dia belum bertumbuh secara penuh. Dia belum bertumbuh menjadi pohon rindang yang mampu memberikan kenyamanan dan lindungan dari teriknya sinar perpecahan serta egoisme kelompok.