Di tahun 2009, masyarakat Indonesia telah menikmati tontonan pencitraan partai dan tokoh politik yang saling bersaing memperoleh dukungan untuk memimpin negara ini. Sekarang setelah dimulainya tahun 2010 dan berakhirnya masa ‘bulan madu’ 100 hari pemerintahan baru, saatnya mereka menjadi produktif dan mulai memenuhi janji yang dibuat semasa Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden. Ini berarti mereka tidak bisa lagi bersandar hanya kepada aksi pencitraan tapi harus mengimbanginya dengan pekerjaan nyata yang dapat menyelesaikan permasalahan bangsa, negara, dan rakyat.
Teori pemasaran politik sendiri sudah menekankan pentingnya kinerja sebuah partai politik, selain kegiatan pemasaran atau pencitraannya. Lees-Marshment (2001) melalui teori Market-Oriented Party (MOP)-nya mengutarakan bahwa setelah masa pemilihan berakhir, partai politik harus dapat memenuhi janji atau produk politik yang sudah ditawarkan kepada masyarakat atau pemilih. Begitu juga Henneberg dan Eghbalian (2002) yang membahas tentang cara meningkatkan perolehan suara dengan memberikan kepuasan kepada pemilih atau masyarakat. Pertanyaan yang mengkhawatirkan adalah bagaimana bila kepuasan masyarakat diperoleh melalui pencitraan dan bukannya hasil nyata?