January 30, 2010

Dari Tahun Pencitraan ke Tahun Produktivitas

Di tahun 2009, masyarakat Indonesia telah menikmati tontonan pencitraan partai dan tokoh politik yang saling bersaing memperoleh dukungan untuk memimpin negara ini. Sekarang setelah dimulainya tahun 2010 dan berakhirnya masa ‘bulan madu’ 100 hari pemerintahan baru, saatnya mereka menjadi produktif dan mulai memenuhi janji yang dibuat semasa Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden. Ini berarti mereka tidak bisa lagi bersandar hanya kepada aksi pencitraan tapi harus mengimbanginya dengan pekerjaan nyata yang dapat menyelesaikan permasalahan bangsa, negara, dan rakyat.

Teori pemasaran politik sendiri sudah menekankan pentingnya kinerja sebuah partai politik, selain kegiatan pemasaran atau pencitraannya. Lees-Marshment (2001) melalui teori Market-Oriented Party (MOP)-nya mengutarakan bahwa setelah masa pemilihan berakhir, partai politik harus dapat memenuhi janji atau produk politik yang sudah ditawarkan kepada masyarakat atau pemilih. Begitu juga Henneberg dan Eghbalian (2002) yang membahas tentang cara meningkatkan perolehan suara dengan memberikan kepuasan kepada pemilih atau masyarakat. Pertanyaan yang mengkhawatirkan adalah bagaimana bila kepuasan masyarakat diperoleh melalui pencitraan dan bukannya hasil nyata?

Presiden SBY sudah sering menerima kritikan atas penekanannya yang terlalu besar pada politik citra, sedangkan hasil kinerja yang nyata tidak terlihat. Bahkan sampai kinerja pemerintahan SBY diasosiasikan dengan tarian Poco-Poco, yaitu bagaimanapun variasinya tetap hanya maju mundur dan diam di tempat. Tapi bagaimanapun kritikan terhadap kinerjanya, tidak mengubah kenyataan bahwa SBY terpilih untuk kedua kalinya sebagai Presiden. Ini menimbulkan pendapat bahwa politik pencitraan dapat memuaskan masyarakat walapun kinerja tidak maksimal.

Ada tiga hal yang menguatkan kesan bahwa SBY lebih mengutamakan politik pencitraan dibandingkan kerja nyata. Pertama adalah komunikasi yang begitu giat dari pemerintah kepada rakyat. Kedua adalah pengutamaan pengambilan kebijakan yang populer di mata masyarakat, seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan penurunan harga BBM. Ketiga adalah sikap reaktif SBY terhadap berbagai isu yang menerpanya, seperti saat ada isu-isu miring yang diarahkan pada SBY dan juga ancaman pembunuhan terhadapnya.

Penekanan yang berlebih pada politik citra dapat menimbulkan sebuah pemahaman negatif. Maksudnya pencitraan dipandang sebagai alat untuk melengkapi hasil kerja yang tidak maksimal, atau bahkan mungkin tidak adanya hasil kerja, melalui kegiatan komunikasi yang intensif. Walaupun begitu komunikasi antara pemerintah dengan rakyat sebenarnya tetaplah penting. Kurangnya komunikasi juga dapat berakibat negatif. Seperti tidak percayanya rakyat kepada pemerintah, atau tidak tahunya rakyat tentang apa saja yang sudah dikerjakan oleh pemerintah. Contohnya adalah saat pemerintahan Megawati, yang pada saat itu menuai banyak kritik karena lebih banyak diam.

Di dalam dunia komunikasi, kondisi ideal sebenarnya adalah seperti apa yang dikatakan oleh Ralph Waldo Emerson, “What you do speaks so loud that I cannot hear what you say”. Namun di dalam komunikasi politik, apa yang disebutkan oleh Emerson akan sulit terwujud karena distorsi dari lawan politik akan lebih tinggi intensitasnya dibandingkan di dunia komersial. Oleh karena itu diperlukan keseimbangan antara kinerja politik dengan komunikasi atau pencitraan dari mereka yang sudah terpilih.

Selain keseimbangan diperlukan juga sinergi antara kinerja politik/produktifitas dengan pencitraan. Perihal sinergi perbuatan dan perkataan juga diutarakan oleh Richard Edelman ketika membahas masa depan komunikasi di sektor komersial dengan konsep “Public Engagement”-nya. Bila perkataan kita tidak didukung oleh perbuatan maka kredibilitas kita akan tergerus. Untuk ini dunia Barat mengenal sindiran “practice what you preach”. Di Indonesia kita lebih akrab dengan sindiran “tong kosong nyaring bunyinya” atau “pepesan kosong”.

Intinya adalah di dalam menjalankan sebuah negara, komunikasi atau pencitraan seharusnya berfungsi untuk menginformasikan pekerjaan yang telah dilakukan. Bukan untuk menimbulkan ilusi keberhasilan. Tidak sepantasnya pencitraan dilakukan tanpa ada hasil kerja nyata yang bisa dikedepankan. Jadi memang sebaiknya ada produktifitas sebelum memulai pencitraan.
Maksud dari produktifitas di dalam konteks politik, atau dalam konteks menjalankan sebuah negara, adalah melakukan pekerjaan nyata yang dapat menyelesaikan permasalahan bangsa, negara, dan rakyat. Contoh sederhana adalah dengan mengeluarkan dan melaksanakan kebijakan yang dapat mengurangi angka kemiskinan, jumlah pengangguran, harga bahan pokok, dan masih banyak lagi aspek dalam indikator kesejahteraan masyarakat.

Kebijakan bisa bersifat intervensi langsung, seperti pemberian subsidi, atau melalui penopang seperti pembangunan infrastruktur. Agar intervensi langsung seperti subsidi tidak menambah beban keuangan negara, perlu ditentukan dulu sektor mana saja yang memang perlu mendapatkan perlindungan dan bantuan dari negara. Pertimbangan yang tidak kalah penting adalah sektor mana yang dapat menggerakkan sektor-sektor lainnya agar dapat memberikan hasil yang berujung pada manfaat bagi masyarakat.

Hasil sebuah kebijakan, terutama yang bersinggungan langsung dengan ekonomi, memang sudah sepatutnya diukur dari manfaatnya kepada masyarakat (Cost Benefit Analysis). Sebagai contoh, pertanyaannya bukanlah berapa jumlah jembatan yang harus dibangun? Namun berapa jembatan yang perlu dibangun agar transaksi ekonomi antar daerah dapat meningkat? Sekarang ini banyak orang yang lebih menggunakan analisa Result Gap, atau perbedaan antara apa yang sudah dijanjikan dengan apa yang sudah dilakukan. Tapi analisa seperti ini hanya akan melihat apa yang ada di permukaan. Sedangkan yang dibutuhkan saat ini adalah penyelesaian terhadap akar permasalahan.

Selama 2010-2014, pemerintah harus memperoleh kepercayaan masyarakat bukan dengan ilusi keberhasilan tapi dengan hasil nyata. Jangan sampai selama 4 tahun ke depan kita hanya akan disuguhi oleh kata-kata indah, janji-janji langit, atau ilusi keberhasilan, namun kita harus menikmatinya dengan perut yang kosong, ketidakpastian akan esok hari, dan sambil menadahkan tangan di lampu merah.

2 comments: