January 12, 2012

Si Marhaen & Si Marsam

Sejarah pemikiran politik Indonesia mengenal istilah kelompok Marhaen yang dimunculkan oleh Soekarno, berdasarkan hasil dialognya dengan seorang petani bernama Marhaen di Bandung. Nama itu menjadi sinonim dengan orang-orang kecil (petani dan buruh) yang terus ditekan kesejahteraannya oleh sistem ekonomi yang tidak adil. Dulu kelompok Marhaen dianggap sebagai kelompok masyarakat terbanyak di Indonesia. Sekarang yang serupa dengan Marhaen adalah 30,2 juta orang penduduk miskin dan 27 juta penduduk hampir miskin di Indonesia.

Jumlah Si Marhaen saat ini kalah banyak dengan kelas menengah atau Si Marsam. Penulis memunculkan istilah Marsam berdasarkan hasil diskusi dengan seorang yang dipanggil Marsam, sosok nyata kelas menengah Indonesia. Mereka adalah yang membelanjakan uangnya 2 sampai 20 dollar AS per hari, menurut definisi Bank Dunia, dengan jumlah sekitar 134 juta orang di Indonesia. Namun Si Marsam ini rapuh karena 120 juta orang dari mereka dapat menjadi Si Marhaen dalam semalam bila harga BBM dan pangan naik.

Pola kehidupan Si Marhaen dan Si Marsam jelas sangat berbeda. Ketika Si Marhaen sibuk memikirkan bagaimana membeli beras untuk jalankan roda kehidupannya, Si Marsam sibuk membeli BBM untuk jalankan roda dua (sepeda motor) atau roda empat (mobil) kepunyaannya. Saat Si Marhaen masih bingung bagaimana bisa memiliki papan/tempat tinggal, Si Marsam sudah sibuk memilih kualitas sandang/busana. Saat Si Marhaen antri berebut sembako murah, Si Marsam antri berebut Blackberry murah.

Persamaan Si Marhaen dan Si Marsam adalah perjuangan terus menerus untuk memperoleh kesejahteraan. Ketika kita mengacu kepada Pancasila dan UUD ’45, sudah jelas bahwa negara Indonesia adalah negara kesejahteraan. Maka dari itu salah satu tolok ukur sederhana keberhasilan Negara ini adalah bagaimana Si Marhaen dilindungi, dibela bahkan bisa berganti identitas menjadi Si Marsam.

Caranya bisa dengan menjaga ketersediaan pangan dalam harga yang terjangkau. Sebab data BPS menunjukkan bahwa di antara Maret 2010-Maret 2011 sumbangan Garis Kemiskinan Makanan (GKM) pada Garis Kemiskinan (GK) adalah 73,52 persen. Ada pihak mengatakan ini bisa diatasi dengan meningkatkan jumlah impor pangan, tapi itu adalah penyelesaian yang tidak berkelanjutan (sustainable), serta merendahkan kedaulatan negara dan bangsa karena kita menjadi tidak mandiri.

Bila Indonesia ingin menjadi mandiri maka seharusnya kita baru merasa bangga bila Indonesia disebut sebagai produsen terbesar di Asia Tenggara. Bukan bangga disebut sebagai pasar terbesar di Asia Tenggara. Istilah “the rise of middle class” menjadi sebuah jargon kebanggaan Indonesia, padahal kita lebih banyak konsumsi daripada produksi. Di Indonesia, Si Marhaen dan Si Marsam harus mandiri dan sejahtera sekaligus.

Satu jawaban yang sering diberikan untuk meningkatkan kesejahteraan adalah menerapkan pasar bebas dan mengurangi peran negara, dengan akarnya pada konsep ‘invisible hand’ dari Adam Smith. Namun ini sering menghasilkan ‘negative externalities’ seperti kemiskinan, polusi, dan penyakit (Peter Barnes, 2006). Ujungnya jurang yang makin lebar antara Si Marhaen dengan Si Marsam. Apalagi dengan Si Makmur atau kelompok kaya yang jumlahnya sekitar 45,8 juta orang di Indonesia.

Dalam film-nya “Capitalism: A Love Story”, Michael Moore memberikan sebuah pernyataan menarik. Dia menyebut bahwa setiap orang menerima kapitalisme, dengan segala efek negatifnya, karena memiliki harapan bahwa suatu hari dia juga bisa menjadi kaya atau makmur.

Bila keinginan orang untuk menjadi makmur akan terus ada maka yang bisa dilakukan adalah menjaga supaya peningkatan kesejahteraan dilakukan di atas fondasi yang kuat. Dalam negara kesejahteraan seperti Indonesia, fondasi ini harus dibangun oleh Negara dengan menjadi lebih pro-aktif. Terutama untuk memenuhi kebutuhan yang dasar dan paling terutama bagi rakyatnya. Ini sangatlah penting bagi keberlangsungan hidup Si Marhaen dan secara tidak langsung kepada keberlanjutan status sosial ekonomi Si Marsam.

Ketika sandang, pangan, papan sudah tersedia dan tidak terancam hilang maka seseorang akan bisa lebih fokus memikirkan bagaimana meningkatkan kesejahteraan agar menjadi makmur. Negara harus menjamin ini melalui instrumen Undang-Undang (UU), kebijakan dan alokasi anggaran.

Pengesahan UU BPJS di DPR adalah contoh yang baik untuk melindungi Si Marhaen dan Si Marsam. Sedangkan kebijakan pembatasan impor sekaligus penguatan produksi pangan dan memperbanyak alokasi anggaran pembangunan adalah contoh yang bisa dilakukan Negara bila memang ingin meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Negara harus bisa menjalankan fungsi dasar dan tugas utamanya untuk menjamin kebutuhan dasar sekaligus mendorong peningkatan kesejahteraan rakyat. Begitulah negara kesejahteraan seperti Indonesia meringankan beban Si Marhaen dan Si Marsam.

8 comments:

  1. Keren pat! mantap Udh jadi politikus skarang? :D
    Apa kabar nona jerman?:p

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thank uuu, ini siapa ya? Kok tahu urusan jerman ? :P
      Skrg gw di politik tp blm pantes disebut politikus :D

      Delete
  2. memang realita yg ada di Indonesia seperti itu. kalo yg miskin mikirnya besok mau makan apa, kalo yg kaya mikirnya besok mau makan dimana?

    ReplyDelete
  3. Berarti saya masuk kategori si Marsam ya.... Ini terminologi baru dalam dunia sosialisme Indonesia rupanya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehe sy bukan sosiolog mas..hanya ingin memudahkan pembahasan agar orang makin tercerahkan

      Delete