November 02, 2012

Bukan Indonesia KTP


Di atas kertas konflik Lampung Selatan menjadi satu tambahan angka bagi 89 konflik sosial yang telah terjadi di Indonesia dari Januari hingga Agustus 2012 (data Kemdagri). Namun di atas semangat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) konflik Lampung Selatan adalah satu noda hitam lagi setelah adanya 89 noda hitam konflik sosial yang tersebar di Nusantara sepanjang tahun. Noda hitam peristiwa Lampung Selatan pun semakin membesar dengan kegagalan upaya mendamaikan desa-desa yang bertikai (Kompas, 1 November 2012). Inilah kenyataan sosial Indonesia yang mengkhawatirkan dan segera membutuhkan solusi.

Solusi yang kita butuhkan sebenarnya tidak perlu dicari lagi. Sebab sudah ada tertanam sebagai wujud kearifan nasional kebangsaan Indonesia yaitu konsep Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tapi tetap satu jua. Bhinneka Tunggal Ika telah ditempatkan sebagai satu dari empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara yang kita harapkan menjadi pilar kokoh menopang keberlangsungan Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara. Berbagai konflik sosial yang terjadi, termasuk gagalnya upaya pendamaian di Lampung Selatan, menunjukkan kepada kita bahwa walaupun Bhinneka Tunggal Ika sudah ditanamkan dalam benak rakyat Indonesia tapi dia belum bertumbuh secara penuh. Dia belum bertumbuh menjadi pohon rindang yang mampu memberikan kenyamanan dan lindungan dari teriknya sinar perpecahan serta egoisme kelompok.

Dulu kita pernah dengar istilah “Islam KTP”, “Kristen KTP”, dll yang disebut orang bila ingin menggambarkan perilaku keseharian seseorang yang tidak sesuai dengan ajaran agamanya. Pantaskah sekarang dimunculkan istilah “Indonesia KTP” untuk menjuluki perilaku orang Indonesia yang tidak ke-Indonesia-an? Keramahan, gotong royong, berat sama dipikul ringan sama dijinjing, termasuk Bhinneka Tunggal Ika adalah beberapa dari sekian banyak perilaku ke-Indonesia-an yang positif. Sedihnya perilaku itu juga adalah beberapa dari sekian banyak perilaku ke-Indonesia-an yang sering diabaikan oleh orang Indonesia sendiri. Baru saja kita memperingati Sumpah Pemuda yang menandakan peristiwa monumental kala para pemuda-pemudi Indonesia menanggalkan jubah kedaerahannya untuk bersama memakai jubah Indonesia. Tapi sekarang kita masih sering mendengar orang yang lebih mengedepankan kesukuannya sebagai identitas diri dibanding kebangsaannya. Ibu Megawati Soekarnoputri pernah berkata dia heran mendengar kenapa masih ada orang Indonesia yang bertanya kepada orang Indonesia lainnya “Kamu orang apa?” Keheranan beliau muncul karena baginya kita semua adalah sama yaitu orang Indonesia.

Kita sendiri sering merasa senang atau “bangga” ketika mengetahui ada atlit, pengusaha, atau selebritas asing yang sukses ternyata memiliki darah keturunan Indonesia. Namun menjadi orang Indonesia bukanlah sebatas keturunan. Bukan sebatas KTP. Bukan sebatas tulisan di paspor. Menjadi orang Indonesia berarti mencakup perilaku yaitu penyerapan, pemahaman, dan pelaksanaan kearifan nasional bangsa seperti Bhinneka Tunggal Ika.

Sebagai pilar kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika sangatlah penting dengan jumlah suku bangsa kita yang mencapai 1.128 (data BPS sensus 2010). Jumlah yang besar tersebut mengingatkan kita bahwa tanpa persatuan dalam perbedaan maka potensi konflik sosial akan semakin membesar.

Membiarkan badai-badai kecil konflik sosial seperti di Lampung Selatan hanya akan memberikan momentum terbentuknya badai besar yang dapat memecah belah NKRI yang sudah berumur 67 tahun ini. Pembiaran badai-badai kecil tersebut juga seperti memberi amunisi kepada kelompok yang ingin ada legislasi yang memungkinkan penggunaan hard power di dalam negeri atas nama keamanan nasional. Padahal akan jauh lebih arif bila konflik sosial di Indonesia dapat diselesaikan dengan menumbuhkan konsep Bhinneka Tunggal Ika, yang akarnya sudah ditanamkan sejak dulu kala dan sudah diperkuat kembali oleh para pemimpin bangsa di masa sekarang sebagai bagian dari empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara.

Untuk mencegah “Indonesia KTP” kita perlu kembali kepada kearifan nasional bangsa kita sendiri dan melaksanakannya dalam perilaku keseharian. Mungkin memang tidak mudah melaksanakan kearifan nasional seperti Bhinneka Tunggal Ika tapi bukannya tidak mungkin. Kita lihat saja bangsa lain yang kearifannya tidak hanya berjaya di negaranya sendiri tapi juga di berbagai negara lain di dunia. Sebelum mereka “meng-ekspor” kearifan bangsa mereka ke bangsa lain, terlebih dahulu mereka menguatkan pertumbuhan kearifannya di antara bangsanya sendiri. Lihat Amerika Serikat, Cina, dan Inggris. Kearifan nasional mereka yang mengambil bentuk sistem serta produk ekonomi, politik, dan budaya sudah mengakar kuat dan bertumbuh di bangsanya sendiri sebelum cabang-cabangnya merambah ke bangsa lain. Buah-buah kearifan nasional mereka sekarang dapat ditemukan di berbagai bangsa dunia, termasuk Indonesia.

Mimpi para founding fathers kita adalah agar Indonesia menjadi sebuah bangsa yang besar dengan cara dan ciri khas-nya sendiri. Contohnya ketika Bung Karno dalam pidatonya di sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) pada tanggal 1 Juni 1945 menyebutkan berbagai contoh Weltanschauung (wawasan) yang menjadi dasar kemerdekaan bangsa lain seperti Jerman, Jepang, Cina dan Rusia. Namun akhirnya untuk dasar kemerdekaan Indonesia, Bung Karno memaparkan ideologi yang digali dari bumi pertiwi Indonesia sendiri, yaitu Pancasila. Ideologi ini yang sejak awal kemerdekaan hingga sekarang sudah menjadi ciri khas Indonesia yang tidak boleh kita lupakan, atau seperti kata Puan Maharani, jangan sampai bangsa Indonesia menjadi “Tuna Pancasila”.

Tidak boleh kita lupa juga pada bagian akhir pidatonya tentang Pancasila, Bung Karno menyebutkan Weltanschauung tidak dapat menjadi kenyataan bila tidak diperjuangkan oleh manusianya. Maka bila kita tidak ingin dijuluki sebagai “Indonesia KTP”, kita orang Indonesia harus menjadi aktor-aktor yang menggerakkan penerapan kearifan nasional di negara ini. Termasuk menerapkan Bhinneka Tunggal Ika sebagai salah satu pilar kehidupan berbangsa dan bernegara kita untuk menyikapi berbagai konflik sosial.

No comments:

Post a Comment