May 31, 2017

Wonder Woman: Simbol Feminisme yang Tidak Pernah Bisa Lepas dari Stigma Dunia Maskulin

“Salah satu simbol feminisme telah dilucuti kekuatannya”, itulah kalimat yang diutarakan Gloria Steinem, editor majalah Ms. dan aktifis feminisme ternama di Amerika Serikat, tentang Wonder Woman di tahun 1968. Steinem mengatakan ini ketika DC Comics waktu itu memutuskan untuk mengubah cerita Wonder Woman, dari seorang superhero keturunan Amazonian menjadi wanita biasa yang menguasai ilmu bela diri. Pernyataan ini didokumentasikan dengan baik oleh Les Daniels, salah satu pemerhati Sejarah buku komik Amerika Serikat, di dalam bukunya “Wonder Woman: The Complete History” edisi terbitan tahun 2000.

Memang Steinem beberapa kali mengakui bahwa dia sering membaca komik Wonder Woman di masa kecilnya. Bahkan di bulan Juli tahun 1972, Wonder Woman, seorang tokoh fiksi di buku komik, dijadikan gambal sampul depan majalah Ms. Oleh Steinem sang editor. Padahal Ms. adalah majalah bertemakan perjuangan feminisme di dunia nyata (https://en.wikipedia.org/wiki/Gloria_Steinem ), tapi sang editor sangat nyaman menjadikan seornag tokoh fiksi sebagai salah ikon kebanggaannya. Bahkan Steinem menganalisa cerita Wonder Woman sebagai salah satu narasi yang mewakili perjuangan kaum perempuan dalam dunia yang begitu paternalistik ( https://en.wikipedia.org/wiki/Cultural_impact_of_Wonder_Woman ).


Entah berapa banyak orang hari ini yang sudah tahu bahwa pencipta karakter Wonder Woman adalah seorang laki-laki. Dan bukan sekedar laki-laki biasa, melainkan tokoh yang sama yang menciptakan alat pendeteksi kebohongan, yaitu Dr. William Moulton Marston. Bahkan salah satu senjata utama Wonder Woman adalah truth lasso (laso kejujuran), yang disebut para pengamat sengaja dibuat fungsinya mirip dengan alat pendeteksi kebohongan buatan Marston.

Dalam sebuah wawancara di tahun 1940, Dr. Marston mengatakan bahwa dia melihat buku komik memiliki potensi besar sebagai alat pendidikan. Ini yang kemudian berlanjut menjadi pembicaraan antara Dr. Marston dengan National Periodical Publications (cikal bakal DC Comics) untuk menerbitkan cerita superhero yang mengalahkan kejahatan bukan dengan kekuatan fisik semata, tapi lebih utama dengan kasih sayang. Dari ide itulah di tahun 1941 lahirlah Wonder Woman, tokoh superhero perempuan pertama dalam sejarah buku komik Amerika Serikat, yang awalnya sempat mau diberi nama Suprema. Marston mengatakan Wonder Woman adalah personifikasi wanita liberal modern di masa itu ( https://en.wikipedia.org/wiki/William_Moulton_Marston ).

Walaupun niat Dr. Marston menciptakan tokoh Wonder Woman cukup mulia, tapi sejak awal sudah ada kontradiksi simbolis dalam gambar dan cerita Wonder Woman. Tokoh ini ingin ditampilkan sebagai tokoh perempuan yang kuat dan mandiri (Superman versi perempuan), tapi di saat yang bersamaan tidak bisa terlepas dari kekangan stigma masyarakat bahwa seorang perempuan itu harus cantik dan lengkap berdandan.

Bahkan kostum Wonder Woman yang dibuat seperti pakaian renang bisa dianalisa cenderung mengumbar seksualitas. Apalagi mayoritas pembaca buku komik saat itu adalah anak muda yang sedang masa puber. Walaupun ada juga yang berpendapat bahwa kostum Wonder Woman adalah bentuk pemberontakan feminisme terhadap stigma bahwa perempuan harus berpakaian “sopan”. Entah mana yang benar-benar dipikirkan Dr. Marston saat dia merancang kostm Wonder Woman.

Berbagai simbolisasi visual itu menjadi latar belakang dari alur cerita Wonder Woman, yang di awal-awal terus mengadvokasikan bahwa perempuan harus berani mandiri dan jangan hanya menjadi “kaum lemah” yang seakan selalu membutuhkan perlindungan dan dirawat oleh kaum pria.

Lucunya (atau mungkin ironisnya), ketika tokoh Wonder Woman diadopsi dalam serial TV dan film, yang lebih membekas di ingatan banyak orang adalah kecantikan aktris pemerannya. Seperti Lynda Carter di tahun 1970-an dan sekarang Gal Gadot. Jarang dimunculkan konsep cerita-cerita awal Wonder Woman yang mengadvokasi kemandirian perempuan secara gamblang (entah bila masih ada yang menangkap pesan ini secara implisit).

Bahkan konsep awal Dr. Marston bahwa Wonder Woman lebih memilih menggunakan rasa kasih sayang dalam menyelesaikan masalah, sudah hampir tidak terlihat. Untuk pembaca komik tahun 1990-an dan penonton film “Batman vs Superman: Dawn of Justice” tahun lalu, Wonder Woman disajikan sebagai perempuan yang ditakuti banyak lawan karena kekuatan fisiknya. Entah apakah ini penerjemahan zeitgeist atau memang sudah dilupakannya ide-ide awal Dr. Marston.

Mungkin sudah jadi takdir Wonder Woman untuk selalu menjadi simbol feminisme yang tidak pernah bisa lepas dari stigma dunia maskulin.

Mungkin…

No comments:

Post a Comment