October 05, 2010

Ragnarok: Siklus Persaingan Pemerintah dan Swasta Serta Munculnya Harapan Baru

Dalam mitologi Norwegia dikenal peristiwa Ragnarok, yaitu berakhirnya dunia karena pertempuran para dewa, raksasa, dan monster. Diceritakan bahwa setelah dunia berakhir maka akan lahir dunia baru yang lebih baik. Para dewa yang gugur dalam Ragnarok akan dilahirkan kembali dan kehidupan di dunia akan berulang dari awal. Salah satu versi cerita menyebutkan bahwa Ragnarok ini adalah peristiwa yang akan berulang terus-menerus (siklus). Jadi dunia tidak pernah benar-benar berakhir, hanya dilahirkan kembali.

Membaca tentang siklus Ragnarok mengingatkan kepada persaingan atau perebutan kekuasaan antara pemerintah dan swasta. Keduanya terus ‘berperang’ untuk memegang kekuasaan atas ekonomi sejak munculnya kapitalisme. Bila di mitologi Norwegia peristiwa penentu perubahan adalah Ragnarok maka di masa modern ini peristiwa penentunya adalah krisis ekonomi.

Ian Bremer (2010) dalam bukunya “The End of the Free Market” memaparkan bahwa setiap selepas krisis ekonomi, dalam sistem ekonomi yang didominasi swasta, ada tuntutan agar pemerintah ikut campur tangan untuk mencegah krisis bertambah besar atau terulang kembali. Namun Ian juga menyebutkan bahwa di Uni Soviet pada tahun 1990-an, sebuah sistem ekonomi yang dikuasai pemerintah, saat terjadi krisis maka rakyat berpaling kepada sistem pasar bebas, atau swasta. Dari kedua pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa bila terjadi krisis maka rakyat akan menyalahkan sistem ekonomi yang sedang digunakan. Akan tetapi ini juga berlaku sebaliknya, bahwa rakyat tidak akan berteriak bila ada kestabilan dan kemakmuran ekonomi yang ditopang oleh sistem ekonomi tertentu.

Liaquat Ahamed (2009) dalam bukunya “Lords of Finance” menceritakan bagaimana bank sentral AS, Inggris, Perancis, dan Jerman, yang saat itu masih dimiliki oleh pihak swasta, berhasil menata keuangan dunia menuju kemakmuran, terutama bagi keempat negara tersebut. Istilah “the Roaring Twenties” tercatat di buku sejarah dunia sebagai istilah yang menandakan kekayaan dinamika sosial budaya yang ditopang oleh kemakmuran ekonomi. Pada saat itu tidak ada yang mempertanyakan kekuasaan bank sentral yang besar. Tapi setelah runtuhnya pasar modal AS di tahun 1929 (Black Tuesday), semua berteriak meminta campur tangan pemerintah untuk mengembalikan kestabilan ekonomi. Ini serupa dengan krisis ekonomi global baru-baru ini yang banyak dipercayai berawal dari krisis kredit beberapa institusi keuangan besar di AS. Sampai sekarang pun masyarakat negara itu masih meributkan penggunaan dana bailout yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk menyelamatkan beberapa institusi keuangan yang dianggap “too big to fail.”

Cerita lain kemenangan besar swasta atas pemerintah, walaupun ironisnya diprakarsai oleh kelompok pemerintah sendiri, adalah masa pemerintahan Margaret Thatcher di Inggris dan Ronald Reagan di AS (Reaganomics). Keduanya mengedepankan pasar bebas dan mengurangi sebanyak mungkin peranan pemerintah dalam menjalankan ekonomi di masing-masing negara. Kalimat Reagan yang paling terkenal untuk menggambarkan masa tersebut adalah “In this present crisis, government is not the solution to our problem; government is the problem.” Pemikiran ini bertahan cukup lama sampai krisis ekonomi global 2007-2009 kemarin.

Contoh-contoh tersebut hanyalah dua dari berbagai cerita tentang perebutan kekuasaan antara pemerintah dan swasta, semua atas nama kebaikan masyarakat banyak. Namun bila ditanyakan kepada Anatole Kaletsky (2010), penulis buku “Capitalism 4.0,” jawabannya kemungkinan besar adalah tidak ada perebutan kekuasaan antara pemerintah dan swasta. Pemikiran utama Anatole adalah kapitalisme global hanya akan digantikan oleh kapitalisme global yang lain. Baginya sejak awal abad ke-19 sampai sekarang yang ada hanyalah kapitalisme namun mengambil berbagai macam bentuk. Tapi Anatole juga mengedepankan bahwa perlu ada pemikiran baru yang bisa menengahi pemahaman kelompok Kiri, yang mendukung campur tangan pemerintah yang kuat, dan pemahaman kelompok Kanan, yang mendukung campur tangan pemerintah seminim mungkin dalam ekonomi. Ini bukanlah pemikiran baru karena sudah terlebih dahulu dipopulerkan oleh Anthony Giddens dengan mempopulerkan konsep “the Third Way.”

Pemikiran dari Giddens dan Anatole merupakan pemikiran yang lahir dari usaha untuk mencari penyelesaian atau memutus siklus perebutan kekuasaan antara pemerintah dan swasta. Sebelumnya sudah ada pemikiran-pemikiran yang muncul tapi tetap berfokus kepada siapa yang lebih baik memegang kekuasaan, pemerintah atau swasta. Serupa pula dengan Ragnarok yang melahirkan dunia baru, selepas setiap krisis ekonomi umumnya lahir pemikiran-pemikiran baru yang menentukan terbentuknya sejarah dunia. Saat pasar modal di AS mengalami keruntuhan di tahun 1929, pemerintah AS mulai memperketat aturan pasar modal. Krisis ekonomi di Uni Soviet pada tahun 1990-an secara tidak langsung turut mempengaruhi Deng Xiaoping untuk menciptakan dan menerapkan kapitalisme versi Cina, yang kesuksesannya bisa kita lihat dan rasakan saat ini. Di Indonesia sendiri, krisis ekonomi 1998 turut memicu peristiwa turunnya Soeharto dan membawa kita pada era reformasi. Namun semuanya seperti berada di jam pasir karena siapapun yang memegang kendali, akan tiba waktunya butir pasir terakhir itu jatuh dan jam tersebut harus diputar agar waktu kembali dapat dihitung.

Giddens dan Anatole telah mencoba menawarkan jalan tengah yang tidak berfokus kepada aktor pemegang kekuasaan tapi pada cara terbaik untuk memakmurkan masyarakat secara merata dan berkelanjutan. Walaupun pemikiran atau ide telah dilontarkan namun perlu diingat juga bahwa sampai sekarang jalan tengah masih diperdebatkan, serta dipertanyakan efektifitasnya, dan belum diterima sebagai solusi oleh semua pihak.

Siklus perebutan kekuasaan tanpa akhir juga membuat masing-masing aktor (pemerintah dan swasta) melakukan koreksi pada diri sendiri. Konsep Corporate Social Responsibility (CSR) yang diterapkan kalangan swasta menjadi salah satu senjata andalan mereka untuk menunjukkan bahwa mereka bisa ‘berkuasa’ dengan bertanggungjawab dan berkelanjutan. Ada juga ide agar pihak swasta menjalankan bisnis yang mendatangkan keuntungan tapi sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berada di bagian dasar dari piramida sosial (kelas bawah). Sedangkan Francis Fukuyama (2004), dalam bukunya “State Building,” serta David Osborne dan Ted Gaebler (1992), dengan buku mereka “Reinventing Government,” berusaha menunjukkan bahwa pemerintah dapat memperbaiki cara kerjanya untuk terus mendatangkan kesejahteraan bagi rakyat.

Setelah membaca karya tulisan Muhammad Yunus (2007), “Creating A World Without Poverty,” dan Peter Barnes (2006), “Capitalism 3.0,” tampak jalan tengah atau solusi baru yang muncul guna mendatangkan kesejahteraan bagi rakyat tanpa harus memilih aktor utama yang memegang kekuasaan. Pemikiran baru ini adalah dengan memunculkan aktor ketiga, selain pemerintah dan swasta, yaitu wirausahawan sosial. Mereka bukanlah pihak swasta karena wirausahawan sosial tidak mengincar keuntungan pribadi atau kelompok tertentu. Apa yang mereka incar adalah kesejahteraan yang merata tanpa harus memegang jabatan di pemerintahan. Wirausahawan sosial juga bukanlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) karena apa yang mereka lakukan tidak dilakukan secara cuma-cuma. Selain itu mereka tidak meminta pemerintah atau swasta untuk menyelesaikan masalah masyarakat namun bermitra dengan kedua aktor tersebut untuk menyelesaikan masalah yang ada. Wirausahawan sosial menjalankan kegiatan bisnis yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat yang merata, tanpa menimbulkan kerugian bagi dirinya, dan bermitra bersama pihak pemerintah dan swasta untuk mencapai hasil maksimal.

Muhammad Yunus dengan Grameen Bank dan Peter Barnes dengan Working Assets sudah memulai virus wirausahawan sosial. Walaupun begitu virus ini harus terlebih dahulu ditularkan seluas mungkin di dunia sebelum bisa dinyatakan berhasil atau gagal. Agar virus wirausahawan sosial bisa mencapai tahap ‘mewabah’, kita masing-masing harus turut menularkannya kepada sebanyak orang dengan secepat mungkin. Bila solusi baru ini berhasil maka yang diuntungkan adalah masyarakat banyak. Bila gagal maka kita bisa segera menyusun solusi baru lainnya. Setelah Ragnarok ada kehidupan yang lebih baik di dunia. Tugas kita sekarang adalah mencari cara agar siklus Ragnarok terputus dan kehidupan yang lebih baik itu dapat terus berkembang dan bertahan.

No comments:

Post a Comment