August 02, 2010

Keterpilihan dan Kemampuan

Akhir-akhir ini kita banyak melihat selebritas yang berputar haluan menjadi calon dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada). Modal utama para selebritas itu adalah kenyataan bahwa mereka merupakan tokoh-tokoh populer di mata masyarakat. Logikanya kepopuleran seorang selebriti akan bergerak sebanding dengan keterpilihannya sebagai calon. Bila kita berorientasi kepada kedudukan dan kekuasaan, penghitungan keterpilihan saja mungkin cukup. Namun saat kita membicarakan tentang tata kelola negara maka kemampuan seorang calon juga menjadi faktor penting.

Maksud dari keterpilihan adalah tingkat daya tarik seorang calon untuk dipilih. Saat seseorang menjadi calon dalam suatu pemilihan, hal pertama yang umumnya diukur adalah tingkat keterpilihannya. Ini yang umumnya dilakukan oleh lembaga-lembaga survei dan dipaparkan hasilnya untuk menjadi bahan diskusi di media dan masyarakat. Pengukuran tingkat keterpilihan seorang calon juga menjadi bekal untuk penyusunan strategi kampanye pemenangan pemilihan. Hal ini sangat umum dilakukan di Amerika Serikat (A.S) yang sudah memiliki industri kampanye pemilihan yang matang.

Walaupun faktor keterpilihan penting untuk dipertimbangkan, tidak kalah penting pula adalah faktor kemampuan dari seorang calon. Bagi seroang calon dalam pemilihan politik, maksud dari faktor kemampuan terutama adalah dalam hal tata kelola negara. Ini salah satu hal utama yang akan menentukan apakah bila terpilih, orang tersebut akan dapat menjalankan tugas dengan efektif, efisien, dan produktif. Tentu saja itu tidak dapat dilakukan bila bersandar hanya pada faktor keterpilihan.

Seringkali diperdebatkan tentang mana yang lebih penting di antara keterpilihan dan kemampuan. Seperti pro kontra berkecimpungnya artis di dunia politik. Sebagai figur publik, ketenaran mereka menjadi modal awal yang kuat agar terpilih. Namun banyak juga kritik muncul yang mempertanyakan kemampuan mereka untuk menjalankan tugas setelah terpilih. Walaupun perlu dicatat juga bahwa ada beberapa artis yang sudah melengkapi diri mereka dengan pengetahuan tentang tata negara sebelum terjun dalam pemilihan.

Akan tetapi perdebatan ini hanya akan membawa kita pada dikotomi yang menghambat perkembangan pemikiran. Dalam teori Pemasaran Politik, Worchester (1987) menyebutkan bahwa produk politik terdiri dari tiga hal utama. Pertama adalah citra partai. Kedua adalah citra pemimpin atau calon. Ketiga adalah manifesto politik atau arahan kebijakan yang diusung partai atau calon. Menurut Worchester tiga produk ini menunjukkan ada tiga kecenderungan yang akan ditunjukkan oleh pemilih. Akan ada yang lebih tertarik kepada citra partai, yang lain pada citra pemimpin atau calon, dan ada juga yang akan lebih tertarik kepada manifesto politik yang diusung. Sedangkan pada tahun 1990, Harrop menyebutkan bahwa salah satu pembentuk citra partai adalah rekam jejak keberhasilan partai atau seseorang saat sedang menjabat setelah terpilih .

Apa yang dijelaskan oleh Worchester dan Harrop sekitar tiga dekade lalu menunjukkan bahwa sejak dahulu, faktor keterpilihan dan kemampuan memiliki derajat yang sama, atau sama-sama penting. Memisahkan satu dengan yang lainnya malah akan berakibat tidak utuhnya produk politik yang ditawarkan kepada pemilih. Pertanyaannya, dalam konteks manajemen pemilihan, adalah bagaimana mewujudkan dan menggabungkan dua faktor tersebut.

Dalam hal perwujudan, faktor keterpilihan relatif lebih cepat dibentuk dari faktor kemampuan. Contoh nyata di depan mata kita adalah dengan maraknya kampanye modern yang menitikberatkan pada pencitraan. Para ahli pemasaran politik berlomba-lomba untuk meramu dan mempersiapkan calon mereka masing-masing, agar sesuai dengan harapan atau gambaran yang diinginkan oleh masyarakat. Ini bukan berarti semua tindakan mereka manipulatif karena pencitraan yang bagus atau berkelanjutan harus juga berakar pada kenyataan atau kapabilitas yang dimiliki sang calon. Tentu kita ingat dengan peribahasa 'sebagus apapun bungkusnya, kalau busuk akan tercium juga.'

Sedangkan untuk faktor kemampuan umumnya melibatkan komponen akumulasi waktu. Orang bilang 'pengalaman adalah guru terbaik' dan dari sinilah seseorang mengembangkan kemampuannya. Berdasarkan pengalaman, pendidikan, dan visinya-lah seorang calon akan menentukan kebijakan serta langkah yang akan dia ambil untuk menyelesaikan permasalahan masyarakat. Begitu pula tuntutan masyarakat untuk pelayanan publik yang lebih baik secara logika akan lebih dapat dipenuhi seorang calon yang terpilih dengan faktor kemampuan, bukan dengan faktor keterpilihan belaka.

Perpaduan antara kedua faktor, keterpilihan dan kemampuan, menjadi kondisi ideal yang ingin kita temui dalam diri seorang calon. Kenyataan bahwa kita hidup di dunia yang tidak sempurna bukanlah sesuatu yang harus disesali. Melainkan kenyataan tersebut seharusnya menjadi pengingat kita akan dua hal utama sebagai pemilih. Pertama, kita harus mencegah menjamurnya politisi karbitan, yang dapat memperbesar kemungkinan kacaunya pengelolaan negara, dengan cara tidak mudah termakan ramuan persuasif yang tidak berlandaskan kenyataan. Kedua, kita harus sadar bahwa tanpa suara kita maka orang yang berkemampuan hanya akan menjadi 'tong kosong yang nyaring bunyinya.' Bagi mereka yang ingin mencalonkan diri maka tulisan ini ingin mengingatkan bahwa janganlah menjadi politisi atau pejabat instan karena kesejahteraan rakyat bukanlah sebuah permainan.

No comments:

Post a Comment