April 15, 2012

Ketika Kursi Menjadi Tahta


Undang-Undang Pemilihan Umum (UU Pemilu) telah disahkan di Sidang Paripurna DPR-RI 12 April 2012. Ini adalah UU yang dinantikan banyak partai politik (parpol) dan orang yang ingin menjadi calon legislatif (caleg) karena menandakan bahwa proses pemilu 2014 telah dimulai. Akan ada 560 kursi DPR-RI yang diperebutkan, belum termasuk kursi di DPRD tingkat I (provinsi) dan tingkat II (kabupaten/kota). Tapi melihat UU Pemilu, termasuk proses pembahasannya di DPR-RI, tampak bahwa kursi yang nantinya menjadi wujud perwakilan dan harapan suara rakyat diperlakukan sebagai tahta oleh beberapa pihak.

Maksud dari memperlakukan kursi perwakilan sebagai tahta adalah ketika dalam pembentukan sistem pemilu, dasar pemikirannya adalah keberlangsungan kekuasaan politik pihak tertentu dan bukannya kesehatan demokrasi Indonesia. Memang kekuasaan politik diperlukan untuk membuat perubahan tapi sangat tipis bedanya dengan keinginan egois kelompok politik. Cara membedakan keduanya bisa dilihat dari landasan pemikiran dan juga perilaku kelompok politik tersebut.

Tentu menjadi sebuah pertanyaan saat sebuah fraksi di DPR-RI dalam pandangan mini mengatakan mendukung metode konversi suara Divisor Webster namun saat pemungutan suara melakukan aksi ‘balik badan’ dengan mendukung metode konversi suara Kuota Murni atau Kuota Hare. Lalu perlu dilihat juga bagaimana aksi parpol-parpol non-parlemen bersatu padu datang ke DPR-RI guna mengutarakan penolakan mereka atas penetapan angka batas ambang atas parlemen (Parliamentary Threshold/PT) yang terlalu tinggi. Argumen mereka adalah tingginya angka PT merupakan lambang ketidakdilan. Akan tetapi tidak diutarakan bagaimana sebuah parpol dengan jumlah kursi sedikit di parlemen akan bisa berfungsi secara efektif dengan adanya 11 komisi, tujuh badan dan berbagai panitia kerja (panja) serta panitia khusus (pansus) di saat bersamaan. Selain itu bagaimana fraksi-fraksi pendukung sistem pemilu proporsional terbuka mengesampingkan efek negatif-nya yaitu biaya politik mahal, serta menjadi salah satu pendorong maraknya korupsi, dan malah mengedepankan narasi persaingan politik individual dengan tabir keadilan seperti pemikiran dari Barat.

Memang banyak pelajaran bisa kita dapatkan dari pemikiran luar negeri, baik dari Barat maupun Timur. Namun seperti kata Prof. Emir Salim, yang dikutip Mubyarto dalam buku “Ekonomi Pancasila”, pemimpin-pemimpin Indonesia menimba pikiran dari banyak pemikir terkemuka di luar negeri namun melakukan penyaringan dengan jiwa nasionalisme kuat sehingga pemikirannya memiliki ciri khas Indonesia (1997). Saat kita membahas UU Pemilu dari perspektif teori semata maka mungkin benar bahwa tidak ada satu sistem pemilu yang melebihi lainnya. Akan tetapi saat kita membahasnya dalam kerangka ideologi dan konstitusi Indonesia maka akan tampak jalan mana yang sebaiknya ditempuh. Intinya sistem pemilu harus disesuaikan dengan keadaan negara masing-masing. Seperti yang diutarakan oleh para peneliti di Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) saat menulis tentang perancangan sistem pemilu di tahun 1997.

Secara akademis studi sistem pemilu (electoral system) mempelajari bagaimana menerjemahkan suara pemilih menjadi bentuk kursi parpol ataupun kandidat (IDEA, 1997). Mungkin karena rumitnya pembahasan teorinya, perdebatan tentang sistem pemilu tidak begitu populer di antara masyarakat. Walaupun dampak dari sistem pemilu sebenarnya sangat signifikan baik untuk parpol maupun masyarakat. Sistem pemilu akan mempengaruhi bentuk sistem kepartaian, bentuk pemerintahan (koalisi atau partai tunggal), apa yang akan dipilih oleh pemilih, bagaimana cara pemilih memberikan suara saat pemilu, cara pemilih bisa meminta pertanggungjawaban dari perwakilan yang terpilih, interaksi antar parpol, seberapa terwakilinya masyarakat yang majemuk dalam hal kelompok sosial dan ras serta budaya, kualitas pemerintah dan perwakilan yang terpilih, serta kualitas hidup masyarakat yang bergantung kepada keputusan dari pemerintahan dan perwakilan yang terpilih (Gallagher & Mitchell, 2005).

Meningkatnya jumlah pemilu di tingkat daerah serta perkembangan ilmu kampanye pemilu modern turut memiliki efek negatif sebab pemilu makin dianggap sebagai ‘permainan’ untuk mendapatkan tahta melalui mekanisme demokrasi. Bila ini terus berlanjut maka cerita politik Indonesia akan terus seperti cerita Ken Arok. Kursi perwakilan sejatinya adalah kursi harapan bagi pemilih untuk kehidupan yang lebih baik dalam sistem demokrasi. Sedangkan tahta sudah dibuktikan oleh sejarah lebih sering berujung kepada penyalahgunaan kekuasaan seperti masa Orde Baru.

Bagi mereka yang berebut tahta, acapkali berbagai cara dihalalkan meskipun harus berada di atas penderitaan orang lain. Setelah tahta diperoleh maka seperti raja-raja di masa lampau, setiap hari mereka akan terus dihinggapi kekhawatiran akan pihak-pihak yang dianggap ingin membalas dendam atau merebut tahtanya. Alih-alih mengurus rakyat, pemegang tahta akan melakukan apapun untuk mempertahankan tahtanya seperti pemikiran Machiavelli. Contoh nyata adalah saat pemimpin dengan 60 persen suara pemilih harus sibuk mengurus koalisi guna mempertahankan kursi kepemimpinan.

Bagaimanapun UU Pemilu telah disahkan dan hingga saat ini belum ada kabar bahwa akan ada pihak yang ingin mengajukan judicial review ke Mahkamah Konsitusi (MK). Memang bukan langkah awal yang ideal saat sistem pemilu yang disahkan memperlakukan kursi perwakilan lebih sebagai tahta. Bila sudah seperti ini maka pemilih harus makin sadar bahwa suaranya akan sangat menentukan yang mewakilinya nanti adalah pihak/individu yang mementingkan tahta atau mengusung aspirasi konstituen. Parpol yang tidak memikirkan tahta dan lebih kedepankan ideologi serta konstitusi juga memiliki panggilan untuk terus memberi pendidikan politik kepada rakyat. Baik pemilih ataupun parpol harus bertanya pada dirinya sendiri apakah mereka akan berjuang untuk menjaga kursi harapan atau kursi tahta.

No comments:

Post a Comment