June 23, 2013

Lain Brasil, Lain Indonesia

Demonstrasi di Brasil tengah berlangsung marak di tengah berlangsungnya Piala Konfederasi 2013 dan persiapan Piala Dunia Brasil 2014. Uniknya Presiden Brasil Dilma Rousseff mengatakan apa yang sedang terjadi di negaranya sebagai demonstrasi dari kelas menengah yang menuntut taraf kehidupan yang lebih tinggi. Rakyat Brasil menyatakan sudah muak dengan korupsi, tingginya biaya transportasi umum, dan buruknya layanan kesehatan.

Demonstrasi kelas menengah Brasil tersebut menarik karena seakan mematahkan pendapat bahwa kelas menengah dan mapan ekonomi cenderung memilih kestabilan dibanding gunjang ganjing yang dapat memengaruhi kondisi ekonomi mereka. Walaupun ada juga pendapat di International Herald Tribune edisi 22-23 Juni 2013 yang mengatakan bahwa rakyat Brasil turun ke jalan menuntut perubahan karena ada stagnasi atas taraf hidup mereka selama ini yang terkenal dengan pertumbuhan ekonomi yang kuat.

Apa yang terjadi di Brasil serupa dengan peristiwa di Amerika Serikat (AS) yang mayoritas kelas menengah-nya turun ke jalan memprotes Wall Street dan menuntut perubahan. Memang ada anggapan gerakan kelas menengah AS menuntut perubahan lebih didasarkan pada ketakutan mereka ‘di-proletarkan’ dengan kondisi yang ada (Zizek, 2012). Akan tetapi bisa dipahami pula bahwa kelas menengah AS merasa frustasi karena mereka terjebak di status quo begitu lama tanpa terlihat harapan dapat naik kelas menjadi kelas atas secara ekonomi.

Di Indonesia sendiri sudah terkenal narasi Rise of the Indonesian middle class, atau kebangkitan kelas menengah Indonesia. Sebuah mantra yang telah memukau banyak orang dari dalam dan luar negeri. Para pengamat dan media terpikat untuk mengupas banyak aspek tentang kelompok masyarakat ini, mulai dari perilaku konsumsi hingga interaksi sosial mereka.

Memang menarik mempelajari perilaku dari kelas menengah Indonesia yang jumlahnya mencapai mayoritas 134 juta (versi Asia Development Bank) atau 50 juta (versi McKinsey Global Institute). Berdasarkan jumlahnya saja sudah banyak perusahaan multinasional yang menyandarkan kesuksesan investasinya di negeri ini pada keberadaan kelas menengah Indonesia, yang diperkirakan atau diharapkan akan terus berkembang. Oleh karena status mayoritas tersebut pula banyak pihak yang berharap agar kelas menengah Indonesia dapat mendorong perubahan sosial politik yang signifikan. Seperti yang terjadi di Brasil dengan demonstrasi kelas menengahnya.

Namun lain Brasil, lain Indonesia. Sebab tampaknya kelas menengah Indonesia tidak (belum) memaksimalkan jumlah dan posisi strategisnya untuk mendorong perubahan (atau lebih tepatnya pemerataan kesejahteraan) di negeri ini. Contohnya gerakan demonstrasi menentang kenaikan BBM subsidi baru-baru ini juga masih banyak dilakukan oleh mahasiswa dan berbagai organisasi pergerakan, bukan oleh kelompok kelas menengah. Sampai beberapa waktu lalu salah satu redaksi The Jakarta Post menyatakan bila kelas menengah Indonesia tidak bergerak maka rakyat miskin di negara ini akan terus terjebak dalam kemiskinan.

Sebenarnya harapan kepada kelas menengah Indonesia untuk menggerakkan/memperjuangkan perubahan politik dan sosial sudah dikumandangkan sejak tahun 1986 dalam diskusi tentang politik kelas menengah Indonesia di Monash University, Australia (Tanter & Young, 1996). Namun kala itu para akademisi masih terjebak dalam proses pendefinisian kelas menengah. Meskipun definisi yang dominan sekarang dari perspektif ekonomi, tapi bisa disebutkan bahwa di masa milenial di Indonesia, agent of change yang utama adalah kelas menengah.

Sebagai agent of change di bidang ekonomi sudah hampir dipastikan, namun di bidang politik belum tentu. Sejak awal masih kuat anggapan bahwa kelas menengah memiliki kecenderungan sikap politik yang berpihak terutama pada kepentingan material mereka sendiri (Heryanto, 1996). Walaupun sebenarnya pemahaman tersebut bukanlah rumus matematika yang mutlak, melainkan lebih sebagai produk zeitgeist (semangat jaman). Contohnya bila kita membuka lembaran sejarah Indonesia masa penjajahan, dorongan atau gerakan untuk perubahan justru banyak dimotori oleh kelas menengah, yaitu mereka yang sudah tidak pusing memenuhi kebutuhan primer hidup serta dapat mengecap pendidikan tinggi. Dari situ bisa diasumsikan kelas menengah Indonesia, pada jaman penjajahan, memperjuangkan perubahan/kemerdekaan untuk kepentingan bersama lintas kelas sosial dan bukan untuk kepentingan pribadi. Berbeda dengan anggapan masa kini.

Selain contoh dari Indonesia di masa kemerdekaan dengan apa yang terjadi di Brasil dan Amerika Serikat makin menguatkan asumsi bahwa zeitgeist berperan penting dalam menganalisa aktivisime sosial politik kelas menengah. Di Indonesia sendiri sekarang ini sudah banyak kasus korupsi yang tak kunjung selesai diberantas ataupun dicegah. Biaya transportasi umum, yang kualitasnya masih rendah, sebentar lagi akan naik dengan kenaikan harga BBM subsidi. Harga pangan sudah sering naik hingga sulit dijangkau. Akan tetapi masih belum bisa diperkirakan apakah kelas menengah Indonesia akan tergerak untuk meminta perubahan.

Memang ada aktivisme di jejaring sosial Indonesia yang bisa kita asumsikan digerakkan oleh kelas menengah. Namun tampaknya yang terjadi dunia maya belum banyak memengaruhi kebijakan pemerintah di dunia nyata.

Walaupun harapan besar untuk menggerakkan perubahan ada di pundak kelas menengah Indonesia tapi baiknya kita jangan jadikan perjuangan untuk Indonesia yang sejahtera sebagai perjuangan satu kelompok masyarakat saja. Kita sudah lama mengenal semangat “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”. Bahkan intisari dari Pancasila, ideologi bangsa Indonesia sendiri, kata Bung Karno adalah “gotong royong”. Sebab interaksi dan ketergantungan satu kelompok sosial dengan kelompok sosial yang lain adalah sebuah keniscayaan. Baik secara vertikal maupun horizontal, kelas menengah Indonesia tidak bisa berdiri sendiri dan sebaiknya berdiri bersama-sama kelompok masyarakat lainnya untuk menghadirkan apa yang terbaik bagi kepentingan bersama.

Ada kelompok yang perjuangannya dilakukan melalui teriakan di jalan, ada yang melalui gerakan aktivisme sosial seperti “Indonesia Mengajar”, ada yang melalui cabang institusi negara di eksekutif, legislatif dan yudikatif. Walaupun ada berbagai bentuk perjuangan, yang penting kesemuanya harus menjadi kesatuan nafas bila ingin perubahan nyata di Indonesia.

Namun memang dalam sebuah negara, perubahan nyata dapat hadir bila ada perubahan kebijakan dari eksekutif dan legislatif. Sebab institusi politik modern tersebut yang bisa menetapkan sistem politik, ekonomi, sosial formal yang menjadi wadah Indonesia untuk berkembang di masa kini dan masa depan. Suka tidak suka, mau tidak mau, memang institusi politik yang mengesahkan sistem kehidupan sebuah negara (Acemoglu & Robinson, 2012).


Sekarang setiap elemen bangsa Indonesia harus memutuskan, apakah kita ingin seperti Brasil yang gerakan perubahannya datang secara perlahan ibarat “batu karang bila diteteskan air terus menerus akan pecah juga”, ataukah kita ingin perubahan datang sekarang juga dan Indonesia yang sejahtera terwujud secara nyata.

No comments:

Post a Comment